Jumat, 11 Desember 2015

Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara



PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Negara republik indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan didukung oleh garis pantai kurang lebih 81.000 km, garis pantai yang panjang ini menunjukkan bahwa negara ini memiliki sumberdaya pesisir potensial, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya non hayati. Diantara beberapa sumberdaya hayati itu seperti Hutan Mangrove, Perikanan, Terumbu Karang dan lain sebagainya, sedangkan sumber daya non hayati seperti Mineral mafas (pneumatophores). Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi vegetasi tersebut juga tumbuh di pantai karang yaitu pada koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis pasir atau ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur. Karena itu hutan mangrove sering juga dianggap sebagai suatu ekosistem yang lain dan mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi iklim, formasi tumbuhan maupun faktor edafis (Tambunan, dkk., 2005).
Indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) paling luas di dunia. Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006 bahwa luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar. Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 3,062,300 juta hektar pada tahun 2005, yang merupakan 19 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Di wilayah tropis dan subtropis hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting dalam melindungi adanya erosi di wilayah pesisir dan menjaga fungsi hidrologis di wilayah tersebut. Dengan mengetahuiperubahan luas hutan mangrove, diharapkan akan mendorong tingkat kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam melestarikan hutan mangrove di wilayah Indonesia (Haryani, 2013).
Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Mulyadi, dkk., 2010).
Fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi (pengikisan tanah akibat air laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai tumbuhan dan hewan kecil seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil, dan tempat tinggal spesies primata,burung-burung dan masih banyak manfaat yang lain. Melihat manfaat dari hutanmangrove, masyarakat mempunyai  peran  yang  besar  untuk  melestarikannyakarena menyusuntnya hutan mangrove  akibat dari berbagai kegiatan masyarakat seperti  pencemaran  dan  penggunaan  kawasan  hutan  mangrove  sebagai  lahan tambak. Kearifan  masyarakat  dalam  memanfaatkan  hutan  mangrove  sebagai kebutuhan  sehari-hari  baik  sebagai  obat-obatan,  bahan  makanan,  atau kerajinan                   (Aflaha, 2014)
           
Tujuan Praktikum
Tujuan dari laporan praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui tentang ekosistem dan fungsi ekosistem mangrove di Pulau Sembilan.
2.      Untuk mengetahui mengetahui jenis mangrove yang didapat di Pulau Sembilan.
3.      Untuk mengetahui faktor pertumbuhan yang mempengaruhi mangrove di Pulau Sembilan .

Manfaat Penulisan
Manfaat dari laporan ini adalah mahasiswa mengetahui segala aspek tentang hutan mangrove, seperti pengertian, fungsi dan karakteristik serta penyebarannya dan mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam studi kasus di lapangan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Sembilan
                Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2 atau ± 9,67% dari total luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2). Jumlah total penduduk di Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian antara lain sebagai pertani sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19 KK, pedagang 29 KK, supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan penggunaan lahan antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29 km2 dan lainnya seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal kawasan lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai (Cepah, 2003).
Di Pulau Sembilan tersebar pantai-pantai yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek Ekowisata. Namun masyarakat masih tertumpu pada pengembangan budidaya ikan kerambah dan mutiara serta pengolahan kulit kerang. Di Pulau Sembilan ini juga dapat dijumpai ekosistem lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat untuk aktifitas pertanian tadah hujan maupun pengairan. Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur yang asin atau terkena intrusi air Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat (Prayunita, dkk., 2012).
Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan (Setyawan dan Winarno, 2006).
Mangrove dapat didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Struktur vegetasi hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000). Komunitas mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis. Hampir 75% tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS, terbanyak di kawasan Asia Tenggara (Syamsurisal, 2011).
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan dan mikroba yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Komposisi dan struktur vegetasi ekosistem mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik, geografi, hidrologi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan lainnya. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan subtropis yang terlindung (Ningsih, 2008).
            Hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Akibat meningkatnya kebutuhan hidup sebagian manusia telah mengintervensi ekosistem tersebut, Hal ini dapat terlihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman,.Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit bagi mangrove baru (Wiyanto, 2010).
            Hutan mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dimana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya (Purwanto dkk, 2014).
Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus menerus oleh tumbuhan sehingga secara perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan. Mangrove sebagai vegetasi berjalan yang cenderung mendorong terbentuknya tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi baru pada tanah timbul tersebut.Selain itu ekosistem mangrove juga mendapatkan subsidi energi, melalui arus pasang surut yangmembantu dalam penyebaran zat-zat hara.Ekosistem mangrove terdiri atas dua bagian bagian daratan dan perairan, dimana bagian perairan juga terbagi dua bagian yakni tawar dan laut (Syamsurisal, 2011).
Ciri-Ciri Mangrove
            Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai dengan ciri
-ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah
pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk dan jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari: api-api (Avicenia sp. ), pedada (Sonneratia sp),  bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.) dan nipah (Nypa sp.) (Haryani, 2013).
            Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri tumbuhan berpembuluh (vaskuler), beradaptasi pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan garam, beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar yang tumbuh dengan cepat dan dapat mengapung, serta beradaptasi terhadap kondisi tanah anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Setyawan, dkk., 2005).
Fungsi dan Manfaat Mangrove
Fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi (pengikisan tanah akibat air laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai tumbuhan dan hewan kecil seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil dan tempat tinggal spesies primata, burung-burung dan masih banyak manfaat lainnya. Melihat manfaat dari hutan mangrove, masyarakat mempunyai peran besar untuk melestarikannya karena menyusutnya hutan mangrove akibat berbagai kegiatan manusia seperti pencemaran dan penggunaan kawasan hutan mangrove sebagai lahan tambak. Kearifan masyarakat dalam memanfaatkan hutan mangrove sebagai kebutuhan sehari-hari baik sebagai obat-obatan, bahan makanan atau kerajianan dapat membantu untuk melestarikan dan untuk kelangsungan hidup mereka tentunya tanpa merusak ekosistem mangrove sebagai pelestar lingkungan (Aflaha, 2014).
            Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, mangrove memiliki beberapa peran dan fungsi ekologis bagi manusia dan lingkungan antara lain seebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, sebagai penghasil detritus dan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun atau terumbu karang. Fungsi ekonomis hutan mangrove antara lain sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan kertas (pulp), sebagai pusat strategis aktivitas manusia, seperti pelabuhan, perikanan, pengeboran minyak, industri, pertanian, pariwisata dan budidaya dan tambak, pemukiman dan industri                    (Sari, dkk., 2014).
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung. Dua belas jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran ran. Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya. Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus,Homalopsis buccata, dan Fordonia (Anwar dan Gunawan, 2007).
Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi. Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya.Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa rantai makanan akuatik yang ada dalam suatu ekosistem perairan khususnya ekosistem perairan pesisir (Wijaya, 2011).
 Hutan bakau mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik hutan bakau yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan  yang mendominasi wilayah pantai, melindungi pantai dan tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lainnya dari ekositem mangrove terutama  adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan biota yang ada dalam sistem rantai makanan dalam suatu ekosistem, tempat berlindung dan memijah ikan, udang, kepiting  berbagai jenis biota perairan (Waas, 2010).
Zonasi mangrove
Menurut Sari, dkk., (2014), Hutan mangrove dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.      Zona Avicennia sp : terletak paling luar dan berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pionir karena jenis tumbuhan ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan gelombang dan mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2.      Zona Rhizophora sp : terletak di belakang zona Avicenia sp., substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya lebih rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.      Zona Bruguiera sp : terletak di belakang zona Rhizophora sp. dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
4.      Zona Nypa fruticans :  terletak paling belakang dan berbatasan dengan daratan.

Jenis Mangrove yang diperoleh
Nama Ilmiah :Bruguiera exaristata
Nama lokal : -
b
 a
Deskripsi  : Semak atau pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 10 m. Kulit kayu berwarna abu-abu tua, pangkal batang menonjol, dan memiliki sejumlah besar akar nafas berbentuk lutut.

Daun          : Permukaan atas daun berwarna hitam, bagian bawah memiliki bercak-  bercak, tepi daun sering tergulung ke dalam. Unit & letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung: meruncing.

Bunga        : Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak kekuningan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya). Ukuran: sekitar 1,5 x 2,5 cm.

Buah          : Hipokotil berbentuk tumpul, silindris agak menggelembung. Ukuran Hipokotil: panjang 5-7 cm dan diameter 6-8 mm.




Nama ilmiah : Rhizophora mucronata
Nama lokal : bakau kurap
 



a
b
c
 


Deskripsi  : Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah.
Daun          : Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang. Ujung: meruncing.
Bunga        : Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; tak bertangkai.

Buah         :   Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijau kecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.
Nama ilmiah : Rhizopora apiculata
Nama lokal :
a
c
b







Deskripsi     : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.

Daun               :  Berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm.

Bunga              : Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak bertangkai.

Buah               : Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.
Nama ilmiah : Avicennia officinalis
Nama lokal : api api daun lebar
a
b








Deskripsi : Pohon, biasanya memiliki ketinggian sampai 12 m, bahkan kadang- kadang sampai 20 m. Pada umumnya memiliki akar tunjang dan akar nafas yang tipis, berbentuk jari dan ditutupi oleh sejumlah lentisel. Kulit kayu bagian luar memiliki permukaan yang halus berwarna hijau-keabu-abuan sampai abu-abu-kecoklatan serta memiliki lentisel.

Daun         :  Berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau-kekuningan atau abu-abukehijauan di bagian bawah. Permukaan atas daun ditutupi oleh sejumlah bintikbintik kelenjar berbentuk cekung. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur terbalik, bulat memanjang-bulat telur terbalik atau elipsbulat memanjang. Ujung: membundar, menyempit ke arah gagang.
Bunga        : Susunan seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat. Daun mahkota bunga terbuka tidak beraturan, semakin tua warnanya semakin hitam, seringkali tertutup oleh rambut halus dan pendek pada kedua permukaannya. Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga. Formasi: bulir (2-10 bunga per tandan). Daun Mahkota: 4; kuning-jingga, 10- 15 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4; lebih panjang dari daun mahkota bunga.
Buah          :  Bentuk seperti hati, ujungnya berparuh pendek, warna kuning kehijauan. Permukaan buah agak keriput dan ditutupi rapat oleh rambut-rambaut halus yang pendek. Ukuran: Sekitar 2x3 cm.

Nama ilmiah : Avicennia lanata
Nama lokal : api api
a
c
b








Deskripsi   :  Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian hingga 8 meter. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu seperti kulit ikan hiu berwarna gelap, coklat hingga hitam.

Daun         :  Memiliki kelenjar garam, bagian bawah daun putih kekuningan dan ada rambut halus. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: membundar – agak meruncing.
Bunga        : Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat. Letak: di ujung atau ketiak tangkai/ tandan bunga. Formasi: bulir (8-14 bunga). Daun Mahkota: 4, kuning pucat-jingga tua, 4-5 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4

Buah          : Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak kekuningan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya). Ukuran: sekitar 1,5 x 2,5 cm.

Nama ilmiah : Ceriops decandra
Nama lokal : kenyonyong, tingi, tengur, tinci, luru, parun
a
b








Deskripsi   : Pohon atau semak kecil dengan ketinggian hingga 15 m. Kulit kayu berwarna coklat, jarang berwarna abu-abu atau putih kotor, permukaan halus, rapuh dan menggelembung di bagian pangkal.

Daun          :  Daun hijau mengkilap. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips bulat memanjang. Ujung: membundar.
Bunga        : Bunga mengelompok, menempel dengan gagang yang pendek, tebal dan bertakik. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (2-4 bunga per kelompok). Daun mahkota: 5; putih dan kecoklatan jika tua, panjang 2,5-4mm. Kadang berambut halus pada tepinya. Kelopak bunga: 5; warna hijau, ada lentisel dan berbintil. Benang sari: tangkai benang sari pendek, sama atau lebih pendek dari kepala sari.
Buah          : Hipokotil berbentuk silinder, ujungnya menggelembung tajam dan berbintil, warna hijau hingga coklat. Leher kotilodon jadi merah tua jika sudah matang/ dewasa. Ukuran: Hipokotil: panjang 15 cm dan diameter 8-12 mm.
Nama ilmiah : Bruguiera gymnorrhiza
a
Nama lokal : putut, tumu, kandeka
b









Deskripsi   : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai coklat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.

Daun          : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (ada juga yang tidak). Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai elips-lanset. Ujung: meruncing.
Bunga        : Bunga bergelantungan dengan panjang tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi: soliter. Daun Mahkota: 10-14; putih dan coklat jika tua, panjang 13-16 mm. Kelopak Bunga: 10-14; warna merah muda hingga merah; panjang 30-50.


METODELOGI


Waktu Dan Tempat
Praktikum Laboratorium Ekosistem Perairan Pesisir dilakukan pada tanggal 14-15 November 2015 di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Waktu penanaman bibit mangrove dilakukan pada hari Minggu, 15 November 2015, pukul 09.30 WIB s/d selesai. Analisis data praktikum di lakukan pada hari kamis, 19 November 2015 di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan.

Deskripsi Lokasi










Gambar 8. Lokasi Peta Desa Pulau Sembilan ditinjau dari Google Earth
Desa Pulau Sembilan terletak di daerah Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Desa ini terletak 10 km dari pusat kota Langkat yang ditempuh dengan menggunakan perahu dan kendaraan darat selama satu jam perjalanan. Desa Pulau Sembilan termasuk ke dalam desa yang sangat subur, dengan lahan perkebunan sawit dan pertanian yang cukup luas di lokasi pertengahan pulau. Desa ini memiliki penduduk dengan mayoritas muslim yang bersuku melayu, dimana didalamnya terdapat tiga dusun dengan jumlah 368 kepala keluarga.

Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan untuk praktikum ekosistem perairan pesisir berupa tali plastik yang digunakan untuk mengukur transek mangrove, kayu panjang untuk mengukur ketinggian mangrove, alat ukur atau penggaris yang digunakan untuk mengukur diameter mangrove, pisau yang diguanakn untuk memotong dan mengambil smapel amngrove, plastik putih untuk tempat sampel daun dan propagul mangrove, toples kaca untuk tempat sampel mangrove, kompas untuk melihat derajad lokasi praktikum, lakban putih yang digunakan untuk menutup toples, kamera untuk mengabadikan lokasi dan mangrove serta alat tulis untuk mencatat hasil analisi data praktikum.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini berupa bibit mangrove yang kami tanam di lokasi yang tidak terdapat mangrove. Bahan lain yang kami identifikasi di laboratorium berupa sampel biota dan mangrove yang kami ambil dari lokasi praktikum di Desa Pulau Sembilan.

Prosedur Praktikum
Prosedur praktikum yang kami lakukan berupa prosedur penanaman mangrove dan perhitungan transek yang dilakukan secara berurut dengan cara sebagai berikut :
Prosedur Penanaman Bibit Mangrove
1.                  Disiapkan alat berupa kayu atau sendok semen untuk membuat lubang, serta bahan berupa bibit mangrove yang sudah di sediakan.
2.                  Dibuat lubang terlebih dahulu dengan menggunakan kayu atau sendok semen dengan kedalaman 10-15 cm.
3.                  Dilepas bibit mangrove dari polibek kecil dengan tidak melepas akar dari mangrove.
4.                  Dimasukkan bibit mangrove kedalam lubang yang telah tersedia, lalu tutp kembali dengan tanah.
5.                  Diusahakan penanaman bibit mangrove denagn rapi dan lurus agar saat melakukan transek tidak kesulitan.
Prosedur Transek Mangrove
1.                  Disiapkan alat dan bahan untuk transek yang telah disediakan terlebih dahulu.
2.                  Dipasang tali transek sejauh 30 m dengan lokasi pembagian pada tiga plot yang berbeda.
3.                  Dianalisis mangrove pada plot 2x2 m terlebih dahulu, kemudian plot 5x5 m dan kemudian plot 10x10 m. \
4.                  Dilihat hasil analisi data mangrove dari mulai akar, batang, bunga, buah dan propagul pada mangrove.
5.                  Diambil sampel daun, buah, bunga dan propagul pada mangrove untuk di identifikasi lebih lanjut di Laboratorium Terpadu.
6.                  Diukur ketinggian dan diameter mangrove dengan pengaris atau tongkat panjang.
7.                  Dicatat hasil yang didapat pada analisi ditiap plot yang berbeda.
8.                  Disusun kembali alat yang digunakan pada transek mangrove agar tidak ada pencemaran di area lokasi mangrove.
 



                                                                                                                                        
      

                                                                                           Tali
                                                                                           Transek                     
                                                                                              Utama (30m)
 

                                                      10 x 10 m
       
                                                 5 x 5 m
    
                                               2x2
Analisis Data
Analisis data yang kami lakukan berupa rumus-rumus yang kami gunakan adalah sebagi berikut:
Luas Petak Contoh (LPC)


Kerapatan Jenis ( )
 



Frekuensi Jenis



Dominansi Pohon
 



Indeks Nilai Penting (INP)
Semai dan Pancang                                                             Pohon
INP = KR+FR
INP= KR+FR+DR
 
 
Indeks Keanekaragaman
                                                          


Keterangan                             Kriteria                                                           
Ni : Individu Jenis ke-n          H < 1 = Rendah
N  : Total Individu                 1 < H < 3 = Sedang
                                               H > 3 = Tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil yang di peroleh dari praktikum yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Semai                                       
Tabei 1. Data Identifikasi Tinggi dan Diameter  Semai Mangrove
Spesies
Jumlah Total
Jumlah Plot
Tinggi
Diameter











Rhizophora mucronata















20 










7




1.1
0.956
1.1
1.592
1.1
2.229
1.1
0.955
1.1
1.91
8






1.2
1.91
1.2
2.229
1.2
1.592
1.2
1.41
1.2
0.455
1.2
1.273
1.2
1.542
9







1
0.455
1
1.542
1
2.229
1
1.273
1
2.542
1
1.91
1
2.229
1
1.91









Rhizophora apiculata













15






7


1.5
2.229
1.5
1.592
1.5
1.91
8




1.3
2.229
1.3
1.592
1.3
1.91
1.3
2.229
1.3
1592
9






1.2
2.547
1.2
2.229
1.2
1.592
1.2
1.91
1.2
1.273
1.2
2.229
1.2
1.91
Bruguiera exarisalata
1
4
0.5
1.5
Ceriops dekanda
1
5
1.5
2

Tabel 2. Hasil Perhitungan Semai Mangrove
Spesies
Jumlah total
Jumlah plot
K
KR (%)
F
FR (%)
INP(%)
Rhizophora mucronata
20
3
5555.6
43.4
0.333
37.5
80,546
Rhizophora apiculata
15
3
4166.67
32.6
0.333
37.5
70,108
Bruguiera exarisalata
4
1
1111.11
8.69
0.111
12.5
21,195
Ceriops decandra
7
1
1,944
15.21
0.111
12.5
27,771

Gambar 9. Grafik Hasil Perhitungan Semai Mangrove
Pancang
Tabel 3. Data Identifikasi Tinggi dan Diameter Pancang Mangrove
Spesies
Jumlah Total
Jumlah Plot
Tinggi
Diameter


Rhizophora mucronata







9



1
3
9
2.2
6
7


1.9
5.059
1.9
4.458
1.9
4.777
1.9
5.095
8
1.8
5.414
9
1.9
4.458

5.095


Rhizophora apiculata



13

2
3.5

7
1.9
4.777
1.9
4.458
9


4.777

3.821

5.095

Avicennia lanata
4

4
3
3
9
4
5
6
6.6
6
6
7.5
Avicennia affinalis
2
4
3.5
4
5
4
8.5
Bruguiera gymnorhiza
1
4
4.5








Tabel 4. Hasil Perhitungan Pancang Mangrove
Spesies
Jumlah total
Jumlah plot
K
KR (%)
F
FR (%)
INP(%)
Rhizophora mucronata
9
3
400
13.65
0.44
30,769
44,405
Rhizophora apiculata
13
3
577.78
19.69
0.333
23.07
42,772
Avicennia lanata
40
4
1777.78
60,606
0.333
23,076
83,682
Avicennia afficianalis
2
2
88,889
3,030
0.222
15,384
18,444
Brugeira gymnorhiza
2
1
88,889
3,030
0.111
7,692
10,726

Gambar 10. Grafik Hasil Perhitungan Pancang Mangrove
Pohon              
Tabel 5. Data Identifikasi Tinggi dan Diameter  Pohon Mangrove
Spesies
Jumlah Total
Jumlah Plot
Tinggi
Diameter
Rhizophora mucronata
32




























1



4
13
4.5
11
4
12
4.5
11
2


4
13.5
4
13
3
12
3


5
25
4
21
3.4
15
7




2.5
10.191
2.5
12.738
2.5
11.464
2.5
11.783

13.057
8





2.5
11.464
2.5
13.057
2.5
12.738
2.5
10.191
2.5
13.057
2.5
11.464
9







3
11.783
3
11.464
3
12.783
3
11.783
3
11.464
3
10.191
3
13.057
3
11.464










Rhizophora apiculata


















  






16








4
13
4
12
3.5
11
2
  

19
4
14
4

3
4.5
16.5
4
17.5
5
7.5
12.5
6
7
10.5
7

3
12.738
3
13.057
3
10.191
8

3
11.783
3
11.464
3
10.191
9





3
13.057
3
10.191
4
10.591
4
11.464
4
11.783

11.464

12.783

13.373

10.191
Avicennia lanata
1
9

11.146

Tabel 6. Hasil Perhitungan Pohon Mangrove
Spesies
Jumlah total
K
KR (%)
F
FR (%)
INP(%)
D
DR (%)
Rhizophora mucronata
32
355,556
41,025
0.667
40,011
180,546
44986,196
99,510
Rhizophora apiculata
16
177,778
20,512
0.889
53,329
172,418
31292,809
98,577
Avicennia lanata
3
333.3
38.46
0.111
6,658
141,119
1083,590
100

Gambar 11. Grafik Hasil Perhitungan Pohon Mangrove

Tabel 7. Data Identifikasi Daun dan Propagul Mangrove
Spesies
Jumlah Total
Jumlah Plot
Daun (cm)
Propagul (cm)
Rhizophora apiculata
21 daun, 1propagul
1
P = 17

L = 4.3

2
P = 13
p = 31
L = 5.5
l = 1
P = 13

L = 5.5

P = 18

L = 6

3
P = 13

L = 4

4
P = 13.5

L = 9

5
P = 5

L = 12

6
P = 19

L = 7

7
P = 4

L = 13

P = 12

L = 7

P = 13

L = 7

8
P = 14

L = 5

P = 12

L = 6

P = 11

L = 6

9
P = 17

L = 6

P = 12

L = 6

P = 12

L = 6

P = 13

L = 6

Rhizophora mucronata
10 daun, 4 propagul
1
P = 9.3

L = 3

2
P = 14
p = 14
L = 7
l = 1
3

p = 22.5

l = 1.5
7
P = 12.4
p = 3
L = 4
l = 5
P = 11

L = 3

P = 12

L = 5

8
P = 14.5

9
L = 5

P = 17

L = 6

P = 12

L = 6

P = 12

L = 6

P = 13

L = 6

Bruguiera exarisalata
1 daun
4
P = 9

L = 3.5

Ceriops dekanda
1 Daun
5
P = 6.5

L = 8.5

Avicennia lanata
3 daun
4
P = 10

L = 7

5
P = 14

L = 16

6
P = 8

L = 6.5

Avicennia affinalis
1 Daun
4
P =12.5

L = 6

Bruguiera gymnorhiza
1 Daun
4
P =13.5

L = 5




Pembahasan
            Pulau Sembilan merupakan wilayah pesisir yang kondisi alamnya sangat baik dan mendukung ekosistem-ekosistem pesisir termasuk ekosistem mangrove untuk mendominasi wilayah tersebut. Ini dikarenakan tumbuhan mangrove dapat tumbuh dengan wilayah yang tanahnya tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut. Hal tersebut sesuai dengan literatur Haryani (2013) yang menjelaskan bahwa Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai dengan ciri-ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk, dan jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari: api-api (Avicenia sp. ), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.) dan nipah (Nypa sp.).
Ekosistem mangrove memiliki pengertian yang berbeda dengan bakau. Mangrove sendiri merupakan sebuah ekosistem yang mana didalamnya terdapat lebih dari satu spesies atau jenis pohon dan semak yang mendominasi ekosistem tersebut dengan karakteriktik dan pola adaptasi yang umumnya berbeda, sedangkan hutan bakau sendiri umumnya  hanya didominasi oleh satu jenis atau satu spesies saja yaitu Rhizophora sp. Hal tersebut sesuai dengan literatur Syamsurial (2011) yang menjelaskan bahwa  Mangrove dapat didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Struktur vegetasi hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili. Komunitas mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis. Hampir 75% tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS, terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
            Karakteristik atau ciri-ciri khusus dari vegetsi yang ditemukan di lokasi praktikum umumnya adalah memiliki perakaran pneumatofor atau yang umum dikenal dengan sebutan akar napas. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa vegetasi yang ditemukan di lokasi praktukum adalah jenis dari tumbuhan mangrove. Yang mana tumbuhan mangrove memiliki jenis perakaran napas sebagai bentuk adaptasinya terhadap lingkungan bergaram serta daerah yang cenderung berlumpur, hal ini sesuai dengaan literatur Setyawan (2005) yang menjelaskan bahwa Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri  tumbuhan berpembuluh (vaskuler), beradaptasi pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan garam, beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar yang tumbuh dengan cepat dan dapat mengapung, serta  beradaptasi terhadap kondisi tanah anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove.
Kondisi alam di Pulau Sembilan dapat dikategorikan baik. Gelombang laut, angin yang tidak terlalu besar, tersedianya organisme-organisme air seperti ikan, udang, kepiting sangat membantu masyarakat sekitar yang umumnya berprofesi sebagai nelayan untuk melangsungkan pekerjaannya, kondisi tersebut juga menjadi daya dukung yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan budidaya khususnya keramba jaring apung yang dibuat disekitar pulau tersebut. Kondisi alam yang baik tersebut berkaitan erat dengan adanya ekosistem mangrove yang mengelilingi wilayah Pulau Sembilan itu sendiri. Ekosistem mangrove menjalankan fungsi ekologisnya dengan sangat baik, yaitu sebagai peredam gelombang, angin dan badai, sebagai habitat, tempat mencari makan dan tempat asuhan serta pembesaran bagi organisme air. Hal tersebut sesuai dengan literatur Wijaya (2011) yang menjelaskan bahwa  Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi. Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi.Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya.Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa rantai makanan akuatik.
Dari hasil pengamatan yang didapat di lokasi praktikum diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh di wilayah yang cenderung dekat dengan daratan adalah Nypa sp., kemudian disusul dengan spesies-spesies lain seperti Bruguiera sp., Rhizophora sp., dan Avicennia sp., adanya perbedaan spesies pada setiap wilayah mulai dari daratan hingga wilayah yang paling dekat dengan laut menunjukkan bahwa di dalam ekosistem mangrove terdapat zonasi-zonasi tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap spesies yang tumbuh di ekosistem tersebut. Setiap zonasi juga mempengaruhi pola adaptasi dari pertumbuhan setiap spesies yang ada di dalam ekosistem mangrove itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan literatur Sari (2014) yang menyatakan bahwa Hutan mangrove dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut: Zona Avicennia sp.; terletak paling luar dan berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pionir karena jenis tumbuhan ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan gelombang dan mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen. Zona Rhizophora sp.; terletak di belakang zona Avicenia sp., substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya lebih rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang. Zona Bruguiera sp.; terletak di belakang zona Rhizophora sp. dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan. Zona Nypa fruticans; terletak paling belakang dan berbatasan dengan daratan.





KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Ekosistem hutan mangrove yang ada di Pulau Sembilan masih termasuk ekosistem yang subur dengan akar-akar yang kuat dan memiliki keanekaragaman yang tinggi.
2.      Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di Pulau Sembilan, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis mangrove yang di dapat pada stasiun 1 tahun 2011 yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia lanata, Avicennia officinalis Ceriops decandra, Bruguiera exarisatata, bruguiera gymnorhiza.
3.      beberapa faktor yang menjadi faktor pertumbuhan ekosisitem mangrove adalah seperti salinitas, fisiografi pantai, substrat, suhu, drajat keasaman (pH), dan zat hara.

Saran
Saran dari penyusun terhadap praktikum yang dilakukan adalah sebaiknya praktikan dalam melakukan praktikum lapangan untuk menganalisis vegetasi mangrove tidak cukup hanya mengukur pH dan salinitas, tapi yang lain juga perlu dilakukan pengukuran. Selain itu praktikan diharapkan lebih sigap dan hati-hati, serta tidak membuang sisa praktikum karena mengganggu keseimbangan lingkungan yang ada.
         


DAFTAR PUSTAKA
Aflaha, E. 2014. Manfaat Mangrove Sebagai Pelestarian Lingkngan Hidup di Desa Olaya Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong. Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah.
Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. Medan. Universitas Sumatera Utara (USU-Press), Medan.
Bengen, D.G. 2000.Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengolahan Ekosistem  Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dahuri R, Ginting S.R.P, Rais J, dan Sitepu J.G. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha, Jakarta.

Edi, M., O. Hendriyanto dan N. Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Universitas Pembangunan Nasional. Jawa Timur.

Hardianty.2013. Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Kawasan Ekowisata di Pantai Boe Kecamatan Galesong, Takalar. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Haryani, N.S. 2013. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Citra Landsat. Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional. Jakarta.

Prayunita, dkk. 2012. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Rhizopora apiculata BI Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidanya pada Tingkat Pohon (Growth and biomass Rhizopora apiculata BI seedlings under varied salinities and their lipid content at tree stage). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.

 

Purwanto, A. D., Wikanti, A., Gathot, W. dan Ety, P. 2014. Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove Menggunakan Citra Landset 8 di Segara Anakan, Cilacap. Pusat Pemenfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta.

Sari, S., A. Pratomo dan Y. Falmi. 2014. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Pelecyphoda di Pesisir Kota Rebah Kota Tanjungpinang. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.

Setyawan, A. D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno dan S. Ari. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Jurnal Biodiversitas. 6(2): 1-2. ISSN:1412-033X.

Setyawan, dkk., 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah:
1. Keanekaragaman Jenis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Subari, S. 2009. Teknik Menentukan Batasan Hutan Mangrove Lestari (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Sidoarjo). 6(1):1-2. ISSN: 0216-0188.
Syah, A. F. 2010. Penginderaan Jauh dan Aplikasinya di Wilayah Pesisir dan Lautan.Universitas Trunojoyo, Madura. Vol 3 (1) : 18-28.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Talib, M. F. 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah Dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tambunan, R., H. Harahap dan Z. Lubis. 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.

Tambunan, R., R. H. harahap dan L. Zulkifli. 2005.  Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan). Jurnal Studi Pembangunan. 1(1): 1-2.

Waas, H. J. D. dan B. Nababan. 2010. Pemetaan dan Analisis Index Vegetasi Mangrove di Pulau Saparua, Maluku Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1): 50-58

Wiyanto, D. B. dan Elok, F. 2010. Analisis Vegetasi Dan Struktur Komunitas Mangrove Di Teluk Benoa-Bali. Universitas Udayana, Bali.
Wonatorei, H. K. 2013. Identifikasi Jenis – Jenis Tumbuhan Mangrove di Kampung Sanggei Distrik Urei – Faisei Kabupaten Waropen. [Skripsi]. Universitas Negeri Papua, Manokwari