Senin, 26 Oktober 2015

Alat Tangkap Perikanan



PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Secara nasional potensi lestari perikanan Indonesia (6,4 juta ton/tahun baru termanfaatkan sebesar 63,5% atau sebesar 4,1 juta ton/th (63,3%). Terlihat tingkat pemanfaatan (exploitation rate) masih jauh dari potensi lestarinya. Akan tetapi untuk wilayah tertentu terutama di sekitar pulau-pulau yang padat penduduknya (Pulau Jawa bagian utara, Selat malaka, Selat Bali, dan lainya) maka tingkat pemanfataanya sudah mendekati bahkan melebihi ambang kritis (overfishing). Di Laut Jawa hampir semua jenis sumber daya ikan di exploitasi secara berlebih yaitu Ikan pelagis besar 250,85%; Ikan pelagis kecil 149,27%; Ikan karang konsumsi 509,79%; udang peneid 463,68%; lobster 186% dan cumi-cumi sebesar 240,28. Sedangkan yang belum mencapai exploitasi berlebih adalah jenis ikan demersal yang baru mencapai 89,07%. Secara keseluruhan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di laut Jawa sampai dengan tahun 2001 mencapai sebesar 137,38. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Indonesai memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 70% dari luas Indonesia adalah lautan (5,8 juta km2). Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut dalam melaporkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,4 Juta ton/tahun dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil yaitu sebesar 3,2 juta ton pertahun (52,54 %), jenis ikan demersal 1,8 juta ton pertahun (28,96%) dan perikanan pelagis besar 0,9 juta ton pertahun (15,81%) Potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar tersebut sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi sampai saat ini potensi tersebut belum dioptimalkan (Sutanto, 2005).
            Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir membutuhkan penanganan dan pengelolaan yang lebih konfrehensif dengan memperhatikan aspek pengetahuan teknis, sosial, kultur, dan legalitas kondisi wilayah setempat. Sebagai daerah peralihan wilayah antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentang terhadap berbagai bentuk, metode, dan strategi dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. Intensitas penangkapan yang tidak terkontrol, variatif alat tangkap yang beroperasi sangat banyak termasuk illegal & destructive fishing, Orientasi teknologi penangkapan pada produksi maksimum, selektifitas target tangkapan yang rendah, standarisasi dan akurasi metode dan sistem pencatatan data produksi perikanan yang rendah, serta pengetahuan dan pengalaman konvensional nelayan tradisional dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan yang sulit berubah merupakan berbagai fakta-fakta lapangan yang terus berlangsung hingga saat ini dan harus mendapat perhatian yang serius terutama pemerintah terkait (dinas, akademisi, peneliti), pelaku dunia usaha perikanan (teknisi & praktisi), dan komunitas masyarakat wilayah pesisir untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan (Hajar, 2011).
            Usaha perikanan pancing ulur dalam perkembangannya tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya dan modifikasi dilakukan guna mengoptimalkan produktivitas dan efektivitas alat tangkap ini. Selain itu, penggunaan mata pancing dengan berbagai ukuran dan tipe serta modifikasi berbagai macam dan bentuk umpan buatan untuk efektivitas penangkapan ikan relatif kurang diterapkan oleh nelayannelayan pancing ulur (Kurnia, 2005).
            Sumber daya perikanan merupakan kekeyaan alam yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi nelayan, dan juga sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan sebelum, selama dan sesudah penangkapan.
Potensi ikan pelagis besar yang terdapat di perairan toritorial maupun ZEE Indonesia yaitu sebesar 178.368 ton per tahun dan cakalang 294.975 ton dalam  per tahun (Salim, 2013).
            Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia sampai saat ini masih belum optimal dibandingkan dengan potensi yang ada. Potensi lestari sumberdaya perikanan terdiri dari potensi perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Kegiatan pembangunan yang terus berlangsung dalam sektor perikanan dan potensi sumberdaya ikan untuk dimanfaatkan. Ironisnya, potensi yang tinggi dan berlimpah itu saat ini terancam kelestariannya, terutama karena eksploitasi yang berlebihan, dan kurangnya pengetahuan masyarakat setempat yang berprofesi sebagai nelayan, terhadap selektivitas penggunaan alat tangkap drift gillnet (Tambunan, 2010).
            Salah satu spesies ikan hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan nama perdagangan Skipjack tuna. Ikan ini sangat potensil dan menjanjikan keuntungan yang besar bagi para pelaku usaha perikanan cakalang setempat. Hal ini disebabkan ikan cakalang dijadikan bahan baku industri makanan dan menu utama pada usaha kuliner di berbagai daerah dalam dan luar negeri, sehingga sangat diminati. Berangkat dari situ ikan cakalang diburu oleh nelayan dibeberapa kabupaten pesisir pantai Teluk Bone dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap dengan menggunakan teknologi penangkapan cakalang seperti pole and line atau huhate, pancing ulur atau hand line, dan payang (termasuk lampara) yang banyak digunakan oleh nelayan/pelaku usaha perikanan (Akmaluddin, 2007). 
            Pemanfaatan sumberdaya laut untuk perikanan Indonesia merupakan hal yang penting sebagai sumber pangan dan komoditi perdagangan. Keadaan itu mendorong Indonesia mengembangkan sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pusat kegiatan perikanan tangkap umumnya berada di daerah pantai, bahkan di beberapa daerah sudah terjadi eksploitasi yang membahayakan kelestarian (Kohar, 2003).

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang dilakukan adalah:
1.    Untuk dapat mengetahui pengertian alat tangkap perikanan.
2.    Untuk dapat mengetahui macam-macam alat tangkap perikanan.
3.    Untuk dapat mengetahui Peranan alat tangkap dalam bidang perikanan.

Manfaat Penulisan
            Manfaat penulisan yang dilakukan yaitu sebagai sarana pembelajaran agar menambah wawasan bagi pihak yang membutuhkan untuk mengetahui pengertian alat tangkap perikanan, macam-macam alat tangkap perikanan dan peranan alat tangkap dalam bidang perikanan, serta dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Alat Tangkap
            Alat penangkap ikan didefinisikan sebagai peralatan tangkap untuk menangkap ikan dan hewan laut lainnya yang dioperasikan dari atas kapal/perahu atau dari darat. Salah satu bentuk usaha di sektor perikanan laut yang memiliki potensi untuk berkembang adalah usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap gillnet (jaring insang). Hal ini karena alat tangkap ini memiliki kemudahan dalam operasional penangkapan, dapat manangkap ikan yang bernilai ekonomis tinggi dengan ukuran ikan yang relatif seragam (Direktorat Kredit, 2008).
            Selektivitas adalah sifat alat tangkap yang menangkap ikan dengan ukuran
tertentu dan spesies dari sebaran populasi. Sifat ini terutama tergantung kepada prinsip yang dipakai dalam penangkapan dan bergantung juga pada parameter desain dari alat tangkap seperti ukuran mata jaring, bahan dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik. Ukuran mata jaring sangat besar pengaruhnya terhadap selektivitas (Tambunan, 2010).

Macam-Macam Alat Tangkap
Longline
           
 Rawai Tuna atau Tuna longliner adalah alat penangkap ikan pelagis besar, termasuk ikan Tuna. Satu unit Tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000 – 2.000 mata pancing untuk sekali turun. Tuna Longliner umumnya dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan faktor produksi yang terbesar bagi Tuna Longliner. Harga BBM yang cenderung meningkat diduga akan berpengaruh terhadap produktivitas dan kelayakan usahanya (Saputra, 2011).
            Spesifikasi longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hooks), tali pelampung (float line), pelampung (float) dan radio
bouy. Tali utama dan tali cabang terbuat dari bahan monofilament dengan diameter 3,8 mm dan 1,8 mm. Panjang tali utama bervariasi, tergantung jumlah dan jarak antar pancing serta pelampung yang digunakan setiap kali tawur (setting). Tali utama panjangnya diperkirakan sekitar 46.305 – 51.450 m, sedangkan panjang tali cabang 21 m. Tali pelampung terbuat dari PA monofilament dengan panjang 22,5 m dan berdiameter 5 mm. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat. Terdapat 2 jenis pelampung yang digunakan yaitu yang memiliki diameter 18 cm dan 30 cm. Mata pancing yang digunakan adalah type J hook dan terbuat dari besi stainless. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 7 buah. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 882 hingga 980 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 126 hingga 140 buah. Radio buoy yang digunakan berjumlah 5 buah merk ocean star buatan Taiwan. Umpan yang digunakan adalah ikan bandeng hidup (Chanos chanos Forskal), lemuru (Sardinella lemuru), cumi- cumi (Loligo sp.) dan ikan layang
(Decapterus sp.) (Chodijrah,2013).

Gambar 1. Konstruksi Longline KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Genoa
Gillnet
            Gillnet cenderung menangkap ikan yang beragam (multispesies) sehingga banyak jenis ikan yang tertangkap de-ngan berbagai ukuran. Komposisi hasil tangkapan merupakan salah satu topik penelitian yang menarik. Metode penangkapan ikan yang diklakukan oleh gillnet antara lain: Setting diawali dengan pelepasan pelampung tanda yang dilengakapi bendera dengan arah barat laut terhadap arus yang kemudian diikuti dengan pelepasan pemberat dan jaring secara cepat sampai jaring terakhir. Selama penurunan jaring, kondisi mesin kapal dalam keadaan menyala namun berjalan secara perlahan hingga jaring selesai diturunkan. Lama kegiatan setting adalah 30 menit. Drifting adalah tahapan penghanyu-tan jaring yang merupakan tahapan kedua setelah setting selesai. Pengha-nyutan jaring dilakukan selama 4-5 jam dengan kondisi mesin perahu dalam keadaan mati.  Hauling dilakukan di bagian depan kapal dan memerlukan waktu sekitar 3 jam. Metode pengangkatan jaring dilakukan dengan tenaga manusia. Satu orang ABK menarik jaring pada tali ris dengan memakai sarung tangan untuk mengurangi rasa sakit. Satu orang ABK bertugas menata pelampung (disusun) dengan rapi; dua orang ABK bertugas menarik jaring bagian bawah sekaligus memisahkan atau mengambil ikan hasil tangkapan yang tersangkut di dalm jaring; dan juga seorang sebagai nakhoda (Apriani, 2013).
Gambar 2. Konstruksi alat tangkap gillnet
Pole and Line
            huhate (Pole and Line) adalah alat tangkap yang terdiri atas joran atau bamboo, tali pancing dan mata pancing. Alat tangkap ini khusus dipakai untuk menangkap cakalang (Katsuwonus pelamis). Alat ini sering disebut pancing cakalang. Alat tangkap ini cukup berkembang di kawasan Timur Indonesia terutama di kawasan Bitung pada tahun 1970-an, sejak didirikannya Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. PERIKANI (Nugraha, 2008).
                Salah satu perikanan tangkap tradisonal yang sebagian besar dipakai oleh nelayan Indonesia, khususnya di kabupaten Pangkajene Kepulauan adalah pancing ulur (Hand line). Pancing ulur terdiri atas beberapa komponen, yaitu 1) gulungan tali; 2) tali pancing; 3) mata pancing; dan 4) pemberat dan termasuk dalam kelompok alat tangkap pancing. Selain konstruksinya sederhana, metode pengoperasian mudah, tidak memerlukan modal yang besar dan kapal khusus . Jenis hasil tangkapan pancing ulur adalah jenis ikan pelagis kecil dan besar (tuna dan cakalang). Kabupaten Pangkep adalah salah satu kabupaten dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor perikanan tangkap (Kurnia, 2005).
Gambar 3. Pole and Line


Set Net
            Set nett adalah alat pengangkap ikan yang dipasang secara menetap pada suatu daerah penangkapan ikan tertentu. Prinsip uttama pengangkapan ikan dengan alat tangkap set net adalah menghalau pergerakan ikan dan menggiring memasuki kantong. Sebagai alat penangkap ikan yang pasif, keberhasilan sangat ditentukan oleh lokasi pemasangan atau daerah penangkapan ikan. Daerah pemasangan set net merupakan daerah yang merupakan jalur migrasi ikan. Prinsip pengoperasian set net adalah memotong alur migrasi dan arah renang ikan yang beruaya ke daerah pantai, berupa jarring dari permukaan hingga ke dasar perairan. Kemudian mengarahkan dan menuntun ikan-ikan mengikuti arah penaju (leader net) yang bermuara pada daerah penangkapan (fishing court) dan akhirnya masuk ke dalam kantong jarring perangkap (chamber net) melalui pintu jaring pengarah (slope net) dengan kondisi ikan yang terperangkap masih dalam keadaan hidup. Berdasarkan definisi dan prinsip kerja set net, maka alat tangkap ini disebut juga dengan sebutan alat tangkap pasif (Kurnia, 2005).
            Sebagai teknologi penangkapan ikan yang baru dikembangkan dimana pengetahuan tingkah laku ikan dalam hal penentuan alur migrasi ikan menjadi persyaratan mutlak dalam penerapan teknologi Jaring Perangkap Pasif (SET NET, teichi ami). Alat tangkap JPP dioperasikan pada wilayah perairan pesisir, baik pada unit skala kecil maupun unit skala besar dengan mamanfaatkan pola perilaku ikan-ikan pelagis ataupun ikan demersal yang bermigrasi harian ke daerah pesisir. Karenanya kegiatan penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dalam menerapkan teknologi penangkapan JPP sebagai indikator utama dalam pemetaan wilayah pengembangan JPP di perairan wilayah pesisir Indonesia. Variasi hasil tangkapan harian pada spot daerah penangkapan yang tetap akan memberikan informasi data base yang penting dalam menganalisis pola tingkah laku ikan-ikan yang tertangkap. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman terhadap pola (waktu, jumlah, dan frekuensi) kedatangan ikan ke wilayah pesisir, komposisi jenis tangkapan, dan karakteristik daerah penangkapan ikan. Disamping itu, respon tingkah laku ikan terhadap alat tangkap JPP dan mekanisme terperangkapnya ikan-ikan di dalam kantong akan memberikan gambaran bagaimana fungsi dari setiap bagian alat tangkap dalam memanfaatkan tingkah laku ikan dan interaksinya terhadap karakteristik daerah penangkapan di wilayah pesisir. Pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap hubungan antara tingkah laku ikan, struktur (desain & konstruksi) alat tangkap, dan karakteristik daerah penangkapan ikan merupakan acuan dasar dalam menyusun strategi dan juga teknologi penangkapan ikan (Hajar, 2011).

Gambar. 4 Set Net

Rawai Dasar
            Rawai dasar merupakan salah satu jenis alat tangkap yang hasil tangkapannya terdiri dari ikan demersal. Usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap rawai dasar di Kabupaten Pati merupakan usaha perikanan tangkap yang potensial di sector usaha perikanan tangkap terutama pada hasil tangkapan ikan demersal yang bernilai ekonomis tinggi. Produksi ikan yang tercatat pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati pada tahun 2006 adalah sebesar 20.233.615 kg dari berbagai jenis ikan hasil tangkapan para nelayan. Usaha perikanan tangkap ini menguntungkan dalam hasil tangkapan yang dihasilkan karena hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi antara lain, yaitu kakap merah (Lutjanus spp), manyung (Arius spp), pari (Dasyatis blekeeri), cucut (Carcharias malkoti) dan jenis-jenis ikan yang ada pada  dasar lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan (Kohar, 2003).
            Pengoperasian dilakukan pada saat matahari terbenam sampai pagi hari. Satu malam dapat dilakukan 2 kali setting atau lebih tergantung jumlah tangkapan
Sebelum dilakukan operasi penangkapan terlebih dahulu dilakukan persiapan baik di darat maupun di laut. Persiapan di darat terdiri dari mempersiapkan perbekalan, perlengkapan alat tangkap, mempersiapkan mesin kapal dan penentuan daerah penangkapan ikan. Setting dilakukan dengan memperhatikan kedalaman, arah arus dan jenis dasar perairan. Hauling terdiri dari penaikkan pelampung dan pemberat, penaikkan tali utama dan tali cabang dan mengambil hasil tangkapan pada haluan kapal bagian kanan. Umpan yang digunakan adalah ikan lemuru (Sandinella spp.). Lama operasi penangkapan 1 sampai 3 hari tergantung hasil tangkapan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2011).
Gambar. 5 Rawai Dasar







Gambar. 6 Konstruksi rawai Dasar











PENUTUP
Kesimpulan
1.               Alat penangkap ikan didefinisikan sebagai peralatan tangkap untuk             menangkap ikan dan hewan laut lainnya yang dioperasikan dari atas   kapal/perahu atau dari darat. Salah satu bentuk usaha di sektor perikanan    laut yang memiliki potensi untuk berkembang adalah usaha penangkapan         ikan dengan alat tangkap gillnet (jaring insang). Hal ini karena alat    tangkap ini memiliki kemudahan dalam operasional penangkapan, dapat     manangkap ikan yang bernilai ekonomis tinggi dengan ukuran ikan yang           relatif  seragam.
2.               Macam-macam alat tangkap ikan yang umum digunakan dalam bidang       perikanan adalah longline, gill net, pole and line, set net dan rawai dasar.
3.               Peranan alat tangkap dalam bidang perikana adalah membantu dan             mempermudah kegiatan yang ada dalam perikanan.

Saran
            Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah sebaiknya mahasiswa hendaknya juga mengetahui tentang alat tangkap yang ada dalam bidang perikanan serta konstruksi dan cara mengoperasikannya.







DAFTAR PUSTAKA
Akmaluddin. Najamuddin. Dan Musbir. 2007. Kinerja Alat Tangkap Ikan Cakalang di Teluk Bone Kabupaten Luwu. Universitas Hasanuddin, Makasaar.

Apriani., Ririn, I. dan Adi, S. 2013. Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Silir yang Berbasis di PPN Karangantu Kota Serang Propinsi banten. Jurnal Ilmu Pertanian dan perikanan. 2 (2):150.

Chodrijah, U. dan Budi, N. 2013. Distribusi Tuna Hasil Tangkapan Pancing Longline dan Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

Hajar, A. I. 2011. Fish Behaviour Utilization on Capture Process of “Jaring Perangkap Pasif”. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Kohar, A., Abdul, R. dan Arie, R. 2007. Upaya Peningkatan Kinerja Perikanan Tangkap Rawai Dasar Melalui Peningkatan Lingkungan Usaha Perikanan dan Kabijakan Pemerintah Daerah di Kabupaten Pati. Universitas Diponegoro, Semarang.

Kurnia, M., Sudirman. Dan Muhammad, Y. 2005. Pengaruh Perbedaan ukuran Mata Pancing Terhadap Hasil tangkapan pancing ulur di Perairan Pulau Sabutung Pangkep. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Nugraha, B. dan Enjah, R. 2008. Status Perikanan huhate (Pole and line) di Bitung Sulawesi Utara. Balai Riset Perikanan laut, Jakarta.

  Salim, A. dan Enjah, R. 2013. Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna Dengan Alat bantu Rumpon dan Cahaya di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

Saputra, S. W., Anhar, S., Dian, W. dan Faik, K.  2011. Produktivitas dan Kelayakan Usaha Tuna Longliner di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Universitas Diponegoro, Semarang.

Sutanto, H. A. 2005. Analisis Efisiensi Alat tangkap Perikanan Gillnet dan Cantrang. Universitas Diponegoro, Semarang.

Tambunan, S. B., Fauziah. Dan Fitri, A. 2010. Selektifitas Drift Gillnet pada Ikan Kembung Lelaki di Perairan Belawan Pantai Timur Sumatera Utara. Universitas Sriwijaya, Palembang.