
Latar
Belakang
Secara
nasional potensi lestari perikanan Indonesia (6,4 juta ton/tahun baru
termanfaatkan sebesar 63,5% atau sebesar 4,1 juta ton/th (63,3%). Terlihat
tingkat pemanfaatan (exploitation rate) masih jauh dari potensi lestarinya.
Akan tetapi untuk wilayah tertentu terutama di sekitar pulau-pulau yang padat
penduduknya (Pulau Jawa bagian utara, Selat malaka, Selat Bali, dan lainya)
maka tingkat pemanfataanya sudah mendekati bahkan melebihi ambang kritis (overfishing).
Di Laut Jawa hampir semua jenis sumber daya ikan di exploitasi secara berlebih
yaitu Ikan pelagis besar 250,85%; Ikan pelagis kecil 149,27%; Ikan karang
konsumsi 509,79%; udang peneid 463,68%; lobster 186% dan cumi-cumi sebesar
240,28. Sedangkan yang belum mencapai exploitasi berlebih adalah jenis ikan
demersal yang baru mencapai 89,07%. Secara keseluruhan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan di laut Jawa sampai dengan tahun 2001 mencapai sebesar 137,38.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi perikanan
yang sangat besar dan beragam. Indonesai memiliki 17.508 pulau dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km dan 70% dari luas Indonesia adalah lautan (5,8 juta
km2). Komisi
Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut dalam melaporkan bahwa potensi lestari
sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,4 Juta ton/tahun dengan
porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil yaitu sebesar 3,2 juta ton
pertahun (52,54 %), jenis ikan demersal 1,8 juta ton pertahun (28,96%) dan
perikanan pelagis besar 0,9 juta ton pertahun (15,81%) Potensi sumberdaya
perikanan yang sangat besar tersebut sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi sampai saat ini potensi tersebut
belum dioptimalkan (Sutanto, 2005).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir membutuhkan
penanganan dan pengelolaan yang lebih konfrehensif dengan memperhatikan aspek
pengetahuan teknis, sosial, kultur, dan legalitas kondisi wilayah setempat.
Sebagai daerah peralihan wilayah antara daratan dan lautan, wilayah pesisir
merupakan wilayah yang rentang terhadap berbagai bentuk, metode, dan strategi
dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. Intensitas penangkapan
yang tidak terkontrol, variatif alat tangkap yang beroperasi sangat banyak termasuk
illegal & destructive fishing, Orientasi teknologi penangkapan pada
produksi maksimum, selektifitas target tangkapan yang rendah, standarisasi dan
akurasi metode dan sistem pencatatan data produksi perikanan yang rendah, serta
pengetahuan dan pengalaman konvensional nelayan tradisional dalam
mengeksploitasi sumberdaya perikanan yang sulit berubah merupakan berbagai
fakta-fakta lapangan yang terus berlangsung hingga saat ini dan harus mendapat
perhatian yang serius terutama pemerintah terkait (dinas, akademisi, peneliti),
pelaku dunia usaha perikanan (teknisi & praktisi), dan komunitas masyarakat
wilayah pesisir untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan
berkelanjutan (Hajar, 2011).
Usaha perikanan pancing
ulur dalam perkembangannya tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti jika
dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut,
berbagai upaya dan modifikasi dilakukan guna mengoptimalkan produktivitas dan
efektivitas alat tangkap ini. Selain itu, penggunaan mata pancing dengan
berbagai ukuran dan tipe serta modifikasi berbagai macam dan bentuk umpan
buatan untuk efektivitas penangkapan ikan relatif kurang diterapkan oleh
nelayannelayan pancing ulur (Kurnia, 2005).
Sumber daya perikanan
merupakan kekeyaan alam yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi
nelayan, dan juga sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang terlibat dalam
kegiatan sebelum, selama dan sesudah penangkapan.
Potensi ikan pelagis besar yang terdapat di perairan toritorial maupun
ZEE Indonesia yaitu sebesar 178.368 ton per tahun dan cakalang 294.975 ton
dalam per tahun (Salim, 2013).
Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia sampai saat ini masih belum optimal
dibandingkan dengan potensi yang ada. Potensi lestari sumberdaya perikanan
terdiri dari potensi perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Kegiatan pembangunan yang terus berlangsung dalam sektor
perikanan dan potensi sumberdaya ikan untuk dimanfaatkan. Ironisnya, potensi
yang tinggi dan berlimpah itu saat ini terancam kelestariannya, terutama karena
eksploitasi yang berlebihan, dan kurangnya pengetahuan masyarakat setempat yang
berprofesi sebagai nelayan, terhadap selektivitas penggunaan alat tangkap drift
gillnet (Tambunan, 2010).
Salah satu spesies ikan
hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
dengan nama perdagangan Skipjack tuna. Ikan ini sangat potensil dan
menjanjikan keuntungan yang besar bagi para pelaku usaha perikanan cakalang setempat.
Hal ini disebabkan ikan cakalang dijadikan bahan baku industri makanan dan menu
utama pada usaha kuliner di berbagai daerah dalam dan luar negeri, sehingga
sangat diminati. Berangkat dari situ ikan cakalang diburu oleh nelayan
dibeberapa kabupaten pesisir pantai Teluk Bone dengan menggunakan berbagai
jenis alat tangkap dengan menggunakan teknologi penangkapan cakalang seperti pole
and line atau huhate, pancing ulur atau hand line, dan payang
(termasuk lampara) yang banyak digunakan oleh nelayan/pelaku usaha perikanan
(Akmaluddin, 2007).
Pemanfaatan sumberdaya
laut untuk perikanan Indonesia merupakan hal yang penting sebagai sumber pangan
dan komoditi perdagangan. Keadaan itu mendorong Indonesia mengembangkan sektor
perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pusat kegiatan perikanan tangkap umumnya
berada di daerah pantai, bahkan di beberapa daerah sudah terjadi eksploitasi
yang membahayakan kelestarian (Kohar, 2003).
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan yang dilakukan adalah:
1. Untuk
dapat mengetahui pengertian alat
tangkap perikanan.
2. Untuk
dapat mengetahui macam-macam alat
tangkap perikanan.
3. Untuk dapat mengetahui Peranan alat tangkap dalam
bidang perikanan.
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan yang dilakukan yaitu sebagai
sarana pembelajaran agar menambah wawasan bagi pihak yang membutuhkan
untuk mengetahui pengertian alat tangkap perikanan,
macam-macam alat tangkap perikanan dan peranan alat tangkap dalam bidang
perikanan, serta dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAK
A

Alat Tangkap
Alat
penangkap ikan didefinisikan sebagai peralatan tangkap untuk menangkap ikan dan
hewan laut lainnya yang dioperasikan dari atas kapal/perahu atau dari darat.
Salah satu bentuk usaha di sektor perikanan laut yang memiliki potensi untuk
berkembang adalah usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap gillnet (jaring
insang). Hal ini karena alat tangkap ini memiliki kemudahan dalam operasional
penangkapan, dapat manangkap ikan yang bernilai ekonomis tinggi dengan ukuran
ikan yang relatif seragam (Direktorat Kredit, 2008).
Selektivitas adalah
sifat alat tangkap yang menangkap ikan dengan ukuran
tertentu dan spesies dari sebaran populasi. Sifat ini terutama
tergantung kepada prinsip yang dipakai dalam penangkapan dan bergantung juga
pada parameter desain dari alat tangkap seperti ukuran mata jaring, bahan dan
ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik. Ukuran mata jaring sangat
besar pengaruhnya terhadap selektivitas (Tambunan, 2010).
Macam-Macam Alat
Tangkap
Longline
Rawai Tuna atau
Tuna longliner adalah alat penangkap ikan pelagis besar, termasuk ikan Tuna.
Satu unit Tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000 – 2.000 mata pancing
untuk sekali turun. Tuna Longliner umumnya dioperasikan di laut lepas atau
perairan samudera. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan faktor produksi yang
terbesar bagi Tuna Longliner. Harga BBM yang cenderung meningkat diduga akan
berpengaruh terhadap produktivitas dan kelayakan usahanya (Saputra, 2011).
Spesifikasi
longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch
line), pancing (hooks), tali pelampung (float line),
pelampung (float) dan radio
bouy. Tali utama dan
tali cabang terbuat dari bahan monofilament dengan diameter 3,8 mm dan
1,8 mm. Panjang tali utama bervariasi, tergantung jumlah dan jarak antar
pancing serta pelampung yang digunakan setiap kali tawur (setting). Tali
utama panjangnya diperkirakan sekitar 46.305 – 51.450 m, sedangkan panjang tali
cabang 21 m. Tali pelampung terbuat dari PA monofilament dengan panjang
22,5 m dan berdiameter 5 mm. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk
bulat. Terdapat 2 jenis pelampung yang digunakan yaitu yang memiliki diameter
18 cm dan 30 cm. Mata pancing yang digunakan adalah type J hook dan
terbuat dari besi stainless. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu
7 buah. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting
bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 882 hingga 980 buah
pancing, sedangkan jumlah pelampung 126 hingga 140 buah. Radio buoy yang
digunakan berjumlah 5 buah merk ocean star buatan Taiwan. Umpan yang
digunakan adalah ikan bandeng hidup (Chanos chanos Forskal), lemuru (Sardinella
lemuru), cumi- cumi (Loligo sp.) dan ikan layang
(Decapterus sp.) (Chodijrah,2013).
Gambar 1. Konstruksi
Longline KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Genoa

Gillnet
Gillnet cenderung
menangkap ikan yang beragam (multispesies) sehingga banyak jenis ikan
yang tertangkap de-ngan berbagai ukuran. Komposisi hasil tangkapan merupakan
salah satu topik penelitian yang menarik. Metode penangkapan ikan yang
diklakukan oleh gillnet antara lain: Setting diawali
dengan pelepasan pelampung tanda yang dilengakapi bendera dengan arah barat
laut terhadap arus yang kemudian diikuti dengan pelepasan pemberat dan jaring
secara cepat sampai jaring terakhir. Selama penurunan jaring, kondisi mesin
kapal dalam keadaan menyala namun berjalan secara perlahan hingga jaring
selesai diturunkan. Lama kegiatan setting adalah 30 menit. Drifting adalah
tahapan penghanyu-tan jaring yang merupakan tahapan kedua setelah setting selesai.
Pengha-nyutan jaring dilakukan selama 4-5 jam dengan kondisi mesin perahu dalam
keadaan mati. Hauling dilakukan
di bagian depan kapal dan memerlukan waktu sekitar 3 jam. Metode pengangkatan
jaring dilakukan dengan tenaga manusia. Satu orang ABK menarik jaring pada tali
ris dengan memakai sarung tangan untuk mengurangi rasa sakit. Satu orang ABK
bertugas menata pelampung (disusun) dengan rapi; dua orang ABK bertugas menarik
jaring bagian bawah sekaligus memisahkan atau mengambil ikan hasil tangkapan
yang tersangkut di dalm jaring; dan juga seorang sebagai nakhoda (Apriani,
2013).
Gambar 2. Konstruksi alat tangkap gillnet

Pole and Line
huhate
(Pole and Line) adalah alat tangkap yang terdiri atas joran atau bamboo, tali
pancing dan mata pancing. Alat tangkap ini khusus dipakai untuk menangkap
cakalang (Katsuwonus pelamis). Alat
ini sering disebut pancing cakalang. Alat tangkap ini cukup berkembang di
kawasan Timur Indonesia terutama di kawasan Bitung pada tahun 1970-an, sejak
didirikannya Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. PERIKANI (Nugraha, 2008).
Salah satu
perikanan tangkap tradisonal yang sebagian besar dipakai oleh nelayan
Indonesia, khususnya di kabupaten Pangkajene Kepulauan adalah pancing ulur (Hand
line). Pancing ulur terdiri atas beberapa komponen, yaitu 1) gulungan
tali; 2) tali pancing; 3) mata pancing; dan 4) pemberat dan termasuk dalam
kelompok alat tangkap pancing. Selain konstruksinya sederhana, metode
pengoperasian mudah, tidak memerlukan modal yang besar dan kapal khusus . Jenis
hasil tangkapan pancing ulur adalah jenis ikan pelagis kecil dan besar (tuna
dan cakalang). Kabupaten Pangkep adalah salah satu kabupaten dalam wilayah
provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor
perikanan tangkap (Kurnia, 2005).
Gambar 3.
Pole and Line

Set Net
Set nett
adalah alat pengangkap ikan yang dipasang secara menetap pada suatu daerah
penangkapan ikan tertentu. Prinsip uttama pengangkapan ikan dengan alat tangkap
set net adalah menghalau pergerakan ikan dan menggiring memasuki kantong.
Sebagai alat penangkap ikan yang pasif, keberhasilan sangat ditentukan oleh
lokasi pemasangan atau daerah penangkapan ikan. Daerah pemasangan set net
merupakan daerah yang merupakan jalur migrasi ikan. Prinsip pengoperasian set
net adalah memotong alur migrasi dan arah renang ikan yang beruaya ke daerah
pantai, berupa jarring dari permukaan hingga ke dasar perairan. Kemudian
mengarahkan dan menuntun ikan-ikan mengikuti arah penaju (leader net) yang bermuara pada daerah penangkapan (fishing court) dan akhirnya masuk ke
dalam kantong jarring perangkap (chamber
net) melalui pintu jaring pengarah (slope
net) dengan kondisi ikan yang terperangkap masih dalam keadaan hidup.
Berdasarkan definisi dan prinsip kerja set net, maka alat tangkap ini disebut
juga dengan sebutan alat tangkap pasif (Kurnia, 2005).
Sebagai
teknologi penangkapan ikan yang baru dikembangkan dimana pengetahuan tingkah
laku ikan dalam hal penentuan alur migrasi ikan menjadi persyaratan mutlak
dalam penerapan teknologi Jaring Perangkap Pasif (SET NET, teichi ami).
Alat tangkap JPP dioperasikan pada wilayah perairan pesisir, baik pada unit
skala kecil maupun unit skala besar dengan mamanfaatkan pola perilaku ikan-ikan
pelagis ataupun ikan demersal yang bermigrasi harian ke daerah pesisir. Karenanya
kegiatan penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman dalam menerapkan teknologi penangkapan JPP sebagai
indikator utama dalam pemetaan wilayah pengembangan JPP di perairan wilayah pesisir
Indonesia. Variasi hasil tangkapan harian pada spot daerah penangkapan yang
tetap akan memberikan informasi data base yang penting dalam menganalisis pola
tingkah laku ikan-ikan yang tertangkap. Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan pemahaman terhadap pola (waktu, jumlah, dan frekuensi) kedatangan
ikan ke wilayah pesisir, komposisi jenis tangkapan, dan karakteristik daerah
penangkapan ikan. Disamping itu, respon tingkah laku ikan terhadap alat tangkap
JPP dan mekanisme terperangkapnya ikan-ikan di dalam kantong akan memberikan
gambaran bagaimana fungsi dari setiap bagian alat tangkap dalam memanfaatkan tingkah
laku ikan dan interaksinya terhadap karakteristik daerah penangkapan di wilayah
pesisir. Pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap hubungan antara tingkah
laku ikan, struktur (desain & konstruksi) alat tangkap, dan karakteristik
daerah penangkapan ikan merupakan acuan dasar dalam menyusun strategi dan juga
teknologi penangkapan ikan (Hajar, 2011).
Gambar. 4 Set Net

Rawai Dasar
Rawai dasar
merupakan salah satu jenis alat tangkap yang hasil tangkapannya terdiri dari
ikan demersal. Usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap rawai dasar di
Kabupaten Pati merupakan usaha perikanan tangkap yang potensial di sector usaha
perikanan tangkap terutama pada hasil tangkapan ikan demersal yang bernilai ekonomis
tinggi. Produksi ikan yang tercatat pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pati pada tahun 2006 adalah sebesar 20.233.615 kg dari berbagai jenis ikan
hasil tangkapan para nelayan. Usaha perikanan tangkap ini menguntungkan dalam
hasil tangkapan yang dihasilkan karena hasil tangkapan yang bernilai ekonomis
tinggi antara lain, yaitu kakap merah (Lutjanus spp), manyung (Arius
spp), pari (Dasyatis blekeeri), cucut (Carcharias malkoti)
dan jenis-jenis ikan yang ada pada dasar
lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan (Kohar, 2003).
Pengoperasian dilakukan
pada saat matahari terbenam sampai pagi hari. Satu malam dapat dilakukan 2 kali
setting atau lebih tergantung jumlah tangkapan
Sebelum dilakukan operasi penangkapan terlebih dahulu dilakukan
persiapan baik di darat maupun di laut. Persiapan di darat terdiri dari
mempersiapkan perbekalan, perlengkapan alat tangkap, mempersiapkan mesin kapal
dan penentuan daerah penangkapan ikan. Setting dilakukan dengan memperhatikan kedalaman,
arah arus dan jenis dasar perairan. Hauling terdiri dari penaikkan pelampung
dan pemberat, penaikkan tali utama dan tali cabang dan mengambil hasil tangkapan
pada haluan kapal bagian kanan. Umpan yang digunakan adalah ikan lemuru
(Sandinella spp.). Lama operasi penangkapan 1 sampai 3 hari tergantung hasil
tangkapan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2011).
Gambar. 5
Rawai Dasar

Gambar. 6
Konstruksi rawai Dasar


Kesimpulan
1.
Alat penangkap ikan
didefinisikan sebagai peralatan tangkap untuk menangkap
ikan dan hewan laut lainnya yang dioperasikan dari atas kapal/perahu atau dari darat. Salah satu bentuk usaha di sektor
perikanan laut yang memiliki potensi
untuk berkembang adalah usaha penangkapan ikan
dengan alat tangkap gillnet (jaring insang). Hal ini karena alat tangkap ini memiliki kemudahan dalam
operasional penangkapan, dapat manangkap
ikan yang bernilai ekonomis tinggi dengan ukuran ikan yang relatif seragam.
2.
Macam-macam alat
tangkap ikan yang umum digunakan dalam bidang perikanan
adalah longline, gill net, pole and line, set net dan rawai dasar.
3.
Peranan alat
tangkap dalam bidang perikana adalah membantu dan mempermudah kegiatan yang ada dalam perikanan.
Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah sebaiknya mahasiswa hendaknya juga
mengetahui tentang alat tangkap yang ada dalam bidang perikanan serta
konstruksi dan cara mengoperasikannya.

Akmaluddin. Najamuddin. Dan
Musbir. 2007. Kinerja Alat Tangkap Ikan Cakalang di Teluk Bone Kabupaten Luwu.
Universitas Hasanuddin, Makasaar.
Apriani., Ririn, I. dan Adi,
S. 2013. Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Silir yang Berbasis di PPN Karangantu
Kota Serang Propinsi banten. Jurnal Ilmu Pertanian dan perikanan. 2 (2):150.
Chodrijah, U. dan Budi, N.
2013. Distribusi Tuna Hasil Tangkapan Pancing Longline dan Daerah
Penangkapannya di Perairan Laut Banda. Balai Penelitian Perikanan Laut,
Jakarta.
Hajar, A. I. 2011. Fish
Behaviour Utilization on Capture Process of “Jaring Perangkap Pasif”.
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Kohar, A., Abdul, R. dan
Arie, R. 2007. Upaya Peningkatan Kinerja Perikanan Tangkap Rawai Dasar Melalui
Peningkatan Lingkungan Usaha Perikanan dan Kabijakan Pemerintah Daerah di
Kabupaten Pati. Universitas Diponegoro, Semarang.
Kurnia, M., Sudirman. Dan
Muhammad, Y. 2005. Pengaruh Perbedaan ukuran Mata Pancing Terhadap Hasil
tangkapan pancing ulur di Perairan Pulau Sabutung Pangkep. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Nugraha, B. dan Enjah, R.
2008. Status Perikanan huhate (Pole and line) di Bitung Sulawesi Utara. Balai
Riset Perikanan laut, Jakarta.
Salim,
A. dan Enjah, R. 2013. Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna Dengan Alat bantu
Rumpon dan Cahaya di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Balai Penelitian
Perikanan Laut, Jakarta.
Saputra, S. W., Anhar, S.,
Dian, W. dan Faik, K. 2011.
Produktivitas dan Kelayakan Usaha Tuna Longliner di Kabupaten Cilacap Jawa
Tengah. Universitas Diponegoro, Semarang.
Sutanto, H. A. 2005. Analisis
Efisiensi Alat tangkap Perikanan Gillnet dan Cantrang. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Tambunan, S. B., Fauziah.
Dan Fitri, A. 2010. Selektifitas Drift Gillnet pada Ikan Kembung Lelaki di
Perairan Belawan Pantai Timur Sumatera Utara. Universitas Sriwijaya, Palembang.