PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Negara republik indonesia yang merupakan
negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan didukung oleh garis
pantai kurang lebih 81.000 km, garis pantai yang panjang ini menunjukkan bahwa
negara ini memiliki sumberdaya pesisir potensial, baik sumberdaya hayati maupun
sumberdaya non hayati. Diantara beberapa sumberdaya hayati itu seperti Hutan
Mangrove, Perikanan, Terumbu Karang dan lain sebagainya, sedangkan sumber daya
non hayati seperti Mineral mafas (pneumatophores).
Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi
vegetasi tersebut juga tumbuh di pantai karang yaitu pada koral mati yang
diatasnya ditimbuni selapis pasir atau ditimbuni selapis tipis pasir atau
ditimbuni lumpur. Karena itu hutan mangrove sering juga dianggap sebagai suatu
ekosistem yang lain dan mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi iklim,
formasi tumbuhan maupun faktor edafis (Tambunan, dkk., 2005).
Indonesia
merupakan negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) paling luas di
dunia. Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006 bahwa
luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar. Indonesia mempunyai
hutan mangrove seluas 3,062,300 juta hektar pada tahun 2005, yang merupakan 19
% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Di wilayah tropis dan
subtropis hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting dalam melindungi adanya
erosi di wilayah pesisir dan menjaga fungsi hidrologis di wilayah tersebut.
Dengan mengetahuiperubahan luas hutan mangrove, diharapkan akan mendorong
tingkat kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam melestarikan hutan mangrove
di wilayah Indonesia (Haryani, 2013).
Luas
hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang
telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain
disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan
industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem
pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik. Keseimbangan ekologi
lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove
dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat
dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda,
kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat
fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Mulyadi, dkk., 2010).
Fungsi
hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi (pengikisan tanah akibat air
laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai tumbuhan dan hewan kecil
seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil, dan tempat tinggal spesies
primata,burung-burung dan masih banyak manfaat yang lain. Melihat manfaat dari
hutanmangrove, masyarakat mempunyai
peran yang besar
untuk melestarikannyakarena
menyusuntnya hutan mangrove akibat dari
berbagai kegiatan masyarakat seperti
pencemaran dan penggunaan
kawasan hutan mangrove
sebagai lahan tambak. Kearifan masyarakat
dalam memanfaatkan hutan
mangrove sebagai kebutuhan sehari-hari
baik sebagai obat-obatan,
bahan makanan, atau kerajinan (Aflaha, 2014)
Tujuan Praktikum
Tujuan
dari laporan praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui tentang ekosistem dan fungsi ekosistem mangrove di Pulau Sembilan.
2.
Untuk mengetahui mengetahui jenis
mangrove yang didapat di Pulau
Sembilan.
3.
Untuk
mengetahui faktor pertumbuhan yang mempengaruhi mangrove di Pulau Sembilan .
Manfaat Penulisan
Manfaat dari laporan ini adalah mahasiswa mengetahui segala
aspek tentang hutan mangrove, seperti pengertian, fungsi dan karakteristik
serta penyebarannya dan mahasiswa dapat
mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam studi kasus di lapangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Sembilan
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang
terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2
atau ± 9,67% dari total luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2).
Jumlah total penduduk di Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian
antara lain sebagai pertani sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19
KK, pedagang 29 KK, supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan
penggunaan lahan antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29 km2
dan lainnya seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang
termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk
dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian
masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal
kawasan lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai (Cepah, 2003).
Di Pulau Sembilan tersebar
pantai-pantai yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek Ekowisata.
Namun masyarakat masih tertumpu pada pengembangan budidaya ikan kerambah dan
mutiara serta pengolahan kulit kerang. Di Pulau Sembilan ini juga dapat
dijumpai ekosistem lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat untuk aktifitas
pertanian tadah hujan maupun pengairan. Kondisi air tanah masih cukup baik
dimana tidak ditemukan adanya air sumur yang asin atau terkena intrusi air Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang
termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk
dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat (Prayunita, dkk.,
2012).
Ekosistem Mangrove
Mangrove
merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi.
Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini
memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting;
misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta
memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan,
reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti
badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat
tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat
menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk,
mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan (Setyawan dan Winarno, 2006).
Mangrove dapat
didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan
laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari
batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Struktur vegetasi hutan
mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga
(Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus)
yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000). Komunitas mangrove
hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis. Hampir 75%
tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS, terbanyak di kawasan Asia
Tenggara (Syamsurisal, 2011).
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai
tumbuhan, hewan dan mikroba yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat
mangrove, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat
disebut ekosistem mangrove. Komposisi dan struktur vegetasi ekosistem mangrove
berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik,
geografi, hidrologi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan
lainnya. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan subtropis yang terlindung (Ningsih, 2008).
Hutan
mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai dan arti
yang sangat penting baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Akibat
meningkatnya kebutuhan hidup sebagian manusia telah mengintervensi ekosistem
tersebut, Hal ini dapat terlihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi
tambak, permukiman,.Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi
ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung
garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat, tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground),
tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta
sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain :
penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil
bibit bagi mangrove baru (Wiyanto, 2010).
Hutan
mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh,
dimana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat
dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi
darat lainnya (Purwanto dkk, 2014).
Mangrove merupakan suatu tempat
yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus
menerus oleh tumbuhan sehingga secara perlahan-lahan
berubah menjadi semi daratan. Mangrove sebagai vegetasi berjalan yang cenderung
mendorong terbentuknya tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya
vegetasi baru pada tanah timbul tersebut.Selain itu ekosistem mangrove juga mendapatkan subsidi energi, melalui arus pasang surut
yangmembantu dalam penyebaran zat-zat hara.Ekosistem mangrove terdiri atas dua bagian bagian daratan dan perairan, dimana bagian perairan juga terbagi dua bagian yakni tawar dan laut (Syamsurisal, 2011).
Ciri-Ciri Mangrove
Hutan
mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai dengan ciri-ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah
pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk dan jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari: api-api (Avicenia sp. ), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.) dan nipah (Nypa sp.) (Haryani, 2013).
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai dengan ciri-ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah
pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk dan jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari: api-api (Avicenia sp. ), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.) dan nipah (Nypa sp.) (Haryani, 2013).
Tumbuhan mangrove memiliki
ciri-ciri tumbuhan berpembuluh (vaskuler), beradaptasi pada kondisi salin, dengan
mencegah masuknya sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan
kelebihan garam, beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar
yang tumbuh dengan cepat dan dapat mengapung, serta beradaptasi terhadap
kondisi tanah anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas)
untuk menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas
mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan
mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove
adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia
yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Setyawan, dkk., 2005).
Fungsi
dan Manfaat Mangrove
Fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi
(pengikisan tanah akibat air laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai
tumbuhan dan hewan kecil seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil dan tempat
tinggal spesies primata, burung-burung dan masih banyak manfaat lainnya. Melihat
manfaat dari hutan mangrove, masyarakat mempunyai peran besar untuk
melestarikannya karena menyusutnya hutan mangrove akibat berbagai kegiatan
manusia seperti pencemaran dan penggunaan kawasan hutan mangrove sebagai lahan
tambak. Kearifan masyarakat dalam memanfaatkan hutan mangrove sebagai kebutuhan
sehari-hari baik sebagai obat-obatan, bahan makanan atau kerajianan dapat
membantu untuk melestarikan dan untuk kelangsungan hidup mereka tentunya tanpa
merusak ekosistem mangrove sebagai pelestar lingkungan (Aflaha, 2014).
Sebagai suatu ekosistem khas
wilayah pesisir, mangrove memiliki beberapa peran dan fungsi ekologis bagi manusia
dan lingkungan antara lain seebagai peredam gelombang dan angin badai,
pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan, sebagai penghasil detritus dan sebagai
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun atau terumbu karang.
Fungsi ekonomis hutan mangrove antara lain sebagai penghasil kayu untuk bahan
konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan kertas (pulp), sebagai pusat strategis aktivitas manusia, seperti
pelabuhan, perikanan, pengeboran minyak, industri, pertanian, pariwisata dan
budidaya dan tambak, pemukiman dan industri (Sari, dkk., 2014).
Mangrove
juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar.
Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat
dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan
lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia,
dan burung. Dua belas jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53
jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di
Sulawesi Utara. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan
42 jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau
Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan
mangrove, baik yang menetap maupun migran ran. Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca
fascicularis), lutung (Presbytis
cristatus), bekantan (Nasalis
larvatus), kucing bakau (Felis
viverrina), luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), dan garangan (Herpetes
javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya. Beberapa jenis
reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga
dendrophila), ular sanca (Phyton
reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus
granulatus,Homalopsis buccata, dan Fordonia
(Anwar dan Gunawan, 2007).
Fungsi
ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi. Berjenis-jenis
biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung dengan
keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai
tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang,
dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling
penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai
adalah serasah daunnya.Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa
rantai makanan akuatik yang ada dalam suatu ekosistem perairan khususnya
ekosistem perairan pesisir (Wijaya, 2011).
Hutan bakau mempunyai fungsi ganda dan
merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus
biologi di suatu perairan. Fungsi fisik hutan bakau yaitu menjaga keseimbangan
ekosistem perairan yang mendominasi
wilayah pantai, melindungi pantai dan tebing sungai terhadap pengikisan atau
erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar.
Fungsi lainnya dari ekositem mangrove terutama adalah sebagai penghasil bahan organik yang
merupakan sumber makanan biota yang ada dalam sistem rantai makanan dalam suatu
ekosistem, tempat berlindung dan memijah ikan, udang, kepiting berbagai jenis biota perairan (Waas, 2010).
Zonasi
mangrove
Menurut Sari, dkk., (2014), Hutan mangrove dibagi menjadi
zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke
darat sebagai berikut:
1.
Zona Avicennia sp : terletak paling luar dan
berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur dan
kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pionir karena jenis tumbuhan
ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan gelombang dan mampu membantu
dalam proses penimbunan sedimen.
2.
Zona Rhizophora sp : terletak di belakang zona Avicenia
sp., substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya lebih
rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.
Zona Bruguiera sp : terletak di belakang zona Rhizophora
sp. dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam
pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
4.
Zona Nypa fruticans : terletak paling belakang dan berbatasan dengan
daratan.
Jenis Mangrove yang diperoleh
Nama Ilmiah :Bruguiera exaristata
Nama lokal : -
b
|
a
|
Deskripsi :
Semak atau pohon yang selalu hijau dengan ketinggian mencapai 10 m. Kulit kayu
berwarna abu-abu tua, pangkal batang menonjol, dan memiliki sejumlah besar akar
nafas berbentuk lutut.
Daun
: Permukaan atas daun berwarna hitam, bagian bawah memiliki
bercak- bercak, tepi daun sering
tergulung ke dalam. Unit & letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat
memanjang. Ujung: meruncing.
Bunga : Buah seperti hati, ujungnya berparuh
pendek dan jelas, warna hijau-agak kekuningan. Permukaan buah berambut halus
(seperti ada tepungnya). Ukuran: sekitar 1,5 x 2,5 cm.
Buah : Hipokotil berbentuk tumpul, silindris
agak menggelembung. Ukuran Hipokotil: panjang 5-7 cm dan diameter 6-8 mm.
Nama ilmiah :
Rhizophora mucronata
Nama lokal : bakau kurap
a
|
b
|
c
|
Deskripsi : Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m,
jarang melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu
berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan
akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah.
Daun : Daun berkulit. Gagang daun berwarna
hijau, panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun
berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk:
elips melebar hingga bulat memanjang. Ujung: meruncing.
Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak,
bersifat biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya
2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per kelompok).
Daun mahkota: 4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat,
panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; tak bertangkai.
Buah : Buah
lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijau
kecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil
silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran:
Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.
Nama ilmiah : Rhizopora apiculata
Nama lokal :
a
|
c
|
b
|
Deskripsi :
Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm.
Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan
kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna
abu-abu tua dan berubah-ubah.
Daun :
Berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan
kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya
kemerahan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips
menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm.
Bunga : Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada
gagang berukuran <14 mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga
per kelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11
mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak
bertangkai.
Buah : Buah kasar
berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3,5
cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau
jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil
panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.
Nama ilmiah :
Avicennia officinalis
Nama lokal : api api daun lebar
a
|
b
|
Deskripsi : Pohon, biasanya memiliki
ketinggian sampai 12 m, bahkan kadang- kadang sampai 20 m. Pada umumnya
memiliki akar tunjang dan akar nafas yang tipis, berbentuk jari dan ditutupi
oleh sejumlah lentisel. Kulit kayu bagian luar memiliki permukaan yang halus
berwarna hijau-keabu-abuan sampai abu-abu-kecoklatan serta memiliki lentisel.
Daun :
Berwarna hijau tua pada permukaan atas dan
hijau-kekuningan atau abu-abukehijauan di bagian bawah. Permukaan atas daun
ditutupi oleh sejumlah bintikbintik kelenjar berbentuk cekung. Unit &
Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur terbalik, bulat
memanjang-bulat telur terbalik atau elipsbulat memanjang. Ujung: membundar,
menyempit ke arah gagang.
Bunga : Susunan seperti trisula dengan bunga bergerombol
muncul di ujung tandan, bau menyengat. Daun mahkota bunga terbuka tidak
beraturan, semakin tua warnanya semakin hitam, seringkali tertutup oleh rambut
halus dan pendek pada kedua permukaannya. Letak: di ujung atau ketiak
tangkai/tandan bunga. Formasi: bulir (2-10 bunga per tandan). Daun Mahkota: 4;
kuning-jingga, 10- 15 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4; lebih panjang dari
daun mahkota bunga.
Buah : Bentuk seperti hati, ujungnya berparuh pendek,
warna kuning kehijauan. Permukaan buah agak keriput dan ditutupi rapat oleh
rambut-rambaut halus yang pendek. Ukuran: Sekitar 2x3 cm.
Nama ilmiah :
Avicennia lanata
Nama lokal : api api
a
|
c
|
b
|
Deskripsi : Belukar atau pohon yang
tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian hingga 8 meter. Memiliki
akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu seperti kulit ikan hiu berwarna
gelap, coklat hingga hitam.
Daun :
Memiliki kelenjar garam, bagian bawah
daun putih kekuningan dan ada rambut halus. Unit & Letak: sederhana &
berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: membundar – agak meruncing.
Bunga : Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat.
Letak: di ujung atau ketiak tangkai/ tandan bunga. Formasi: bulir (8-14 bunga).
Daun Mahkota: 4, kuning pucat-jingga tua, 4-5 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang
sari: 4
Buah : Buah
seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak kekuningan.
Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya). Ukuran: sekitar 1,5 x
2,5 cm.
Nama ilmiah : Ceriops decandra
Nama lokal : kenyonyong, tingi,
tengur, tinci, luru, parun
a
|
b
|
Deskripsi : Pohon atau semak kecil dengan ketinggian hingga 15 m. Kulit kayu berwarna
coklat, jarang berwarna abu-abu atau putih kotor, permukaan halus, rapuh dan
menggelembung di bagian pangkal.
Daun : Daun hijau
mengkilap. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips bulat
memanjang. Ujung: membundar.
Bunga : Bunga mengelompok, menempel dengan
gagang yang pendek, tebal dan bertakik. Letak: di ketiak daun. Formasi:
kelompok (2-4 bunga per kelompok). Daun mahkota: 5; putih dan kecoklatan jika
tua, panjang 2,5-4mm. Kadang berambut halus pada tepinya. Kelopak bunga: 5;
warna hijau, ada lentisel dan berbintil. Benang sari: tangkai benang sari
pendek, sama atau lebih pendek dari kepala sari.
Buah : Hipokotil berbentuk silinder,
ujungnya menggelembung tajam dan berbintil, warna hijau hingga coklat. Leher
kotilodon jadi merah tua jika sudah matang/ dewasa. Ukuran: Hipokotil: panjang
15 cm dan diameter 8-12 mm.
Nama ilmiah :
Bruguiera gymnorrhiza
a
|
b
|
Deskripsi : Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai
30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna
abu-abu tua sampai coklat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar
ke samping di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.
Daun : Daun berkulit, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau
kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (ada juga yang
tidak). Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips sampai
elips-lanset. Ujung: meruncing.
Bunga : Bunga bergelantungan dengan panjang
tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak: di ketiak daun, menggantung. Formasi:
soliter. Daun Mahkota: 10-14; putih dan coklat jika tua, panjang 13-16 mm.
Kelopak Bunga: 10-14; warna merah muda hingga merah; panjang 30-50.
METODELOGI
Waktu Dan Tempat
Praktikum
Laboratorium Ekosistem Perairan Pesisir dilakukan pada tanggal 14-15 November
2015 di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera Utara. Waktu penanaman bibit mangrove dilakukan pada hari
Minggu, 15 November 2015, pukul 09.30 WIB s/d selesai. Analisis data praktikum
di lakukan pada hari kamis, 19 November 2015 di Laboratorium Terpadu Manajemen
Sumberdaya Perairan.
Deskripsi
Lokasi
Gambar 8. Lokasi Peta Desa Pulau
Sembilan ditinjau dari Google Earth
Desa Pulau
Sembilan terletak di daerah Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera Utara. Desa ini terletak 10 km dari pusat kota Langkat yang
ditempuh dengan menggunakan perahu dan kendaraan darat selama satu jam
perjalanan. Desa Pulau Sembilan termasuk ke dalam desa yang sangat subur,
dengan lahan perkebunan sawit dan pertanian yang cukup luas di lokasi
pertengahan pulau. Desa ini memiliki penduduk dengan mayoritas muslim yang
bersuku melayu, dimana didalamnya terdapat tiga dusun dengan jumlah 368 kepala
keluarga.
Alat
Dan Bahan
Alat yang
digunakan untuk praktikum ekosistem perairan pesisir berupa tali plastik yang
digunakan untuk mengukur transek mangrove, kayu panjang untuk mengukur ketinggian
mangrove, alat ukur atau penggaris yang digunakan untuk mengukur diameter
mangrove, pisau yang diguanakn untuk memotong dan mengambil smapel amngrove,
plastik putih untuk tempat sampel daun dan propagul mangrove, toples kaca untuk
tempat sampel mangrove, kompas untuk melihat derajad lokasi praktikum, lakban
putih yang digunakan untuk menutup toples, kamera untuk mengabadikan lokasi dan
mangrove serta alat tulis untuk mencatat hasil analisi data praktikum.
Bahan yang
digunakan pada praktikum ini berupa bibit mangrove yang kami tanam di lokasi
yang tidak terdapat mangrove. Bahan lain yang kami identifikasi di laboratorium
berupa sampel biota dan mangrove yang kami ambil dari lokasi praktikum di Desa
Pulau Sembilan.
Prosedur
Praktikum
Prosedur
praktikum yang kami lakukan berupa prosedur penanaman mangrove dan perhitungan
transek yang dilakukan secara berurut dengan cara sebagai berikut :
Prosedur Penanaman Bibit Mangrove
1.
Disiapkan alat berupa
kayu atau sendok semen untuk membuat lubang, serta bahan berupa bibit mangrove
yang sudah di sediakan.
2.
Dibuat lubang terlebih
dahulu dengan menggunakan kayu atau sendok semen dengan kedalaman 10-15 cm.
3.
Dilepas bibit mangrove
dari polibek kecil dengan tidak melepas akar dari mangrove.
4.
Dimasukkan bibit
mangrove kedalam lubang yang telah tersedia, lalu tutp kembali dengan tanah.
5.
Diusahakan penanaman
bibit mangrove denagn rapi dan lurus agar saat melakukan transek tidak
kesulitan.
Prosedur Transek Mangrove
1.
Disiapkan alat dan
bahan untuk transek yang telah disediakan terlebih dahulu.
2.
Dipasang tali transek
sejauh 30 m dengan lokasi pembagian pada tiga plot yang berbeda.
3.
Dianalisis mangrove
pada plot 2x2 m terlebih dahulu, kemudian plot 5x5 m dan kemudian plot 10x10 m.
\
4.
Dilihat hasil analisi
data mangrove dari mulai akar, batang, bunga, buah dan propagul pada mangrove.
5.
Diambil sampel daun,
buah, bunga dan propagul pada mangrove untuk di identifikasi lebih lanjut di
Laboratorium Terpadu.
6.
Diukur ketinggian dan
diameter mangrove dengan pengaris atau tongkat panjang.
7.
Dicatat hasil yang
didapat pada analisi ditiap plot yang berbeda.
8.
Disusun kembali alat
yang digunakan pada transek mangrove agar tidak ada pencemaran di area lokasi
mangrove.
Tali
Transek
Utama (30m)
10 x 10 m
5 x
5 m
2x2
Analisis
Data
Analisis data
yang kami lakukan berupa rumus-rumus yang kami gunakan adalah sebagi berikut:
|
|
|
Kerapatan
Jenis (
)
|
|
|
|
Dominansi
Pohon
|
|
Indeks
Nilai Penting (INP)
Semai
dan Pancang Pohon
INP
= KR+FR
|
INP=
KR+FR+DR
|
Indeks
Keanekaragaman
|
Keterangan
Kriteria
Ni
: Individu Jenis ke-n H < 1 =
Rendah
N : Total Individu 1 < H < 3 = Sedang
H
> 3 = Tinggi
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil yang di
peroleh dari praktikum yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Semai
Tabei
1. Data Identifikasi Tinggi dan Diameter Semai Mangrove
Spesies
|
Jumlah Total
|
Jumlah Plot
|
Tinggi
|
Diameter
|
Rhizophora mucronata
|
20
|
7
|
1.1
|
0.956
|
1.1
|
1.592
|
|||
1.1
|
2.229
|
|||
1.1
|
0.955
|
|||
1.1
|
1.91
|
|||
8
|
1.2
|
1.91
|
||
1.2
|
2.229
|
|||
1.2
|
1.592
|
|||
1.2
|
1.41
|
|||
1.2
|
0.455
|
|||
1.2
|
1.273
|
|||
1.2
|
1.542
|
|||
9
|
1
|
0.455
|
||
1
|
1.542
|
|||
1
|
2.229
|
|||
1
|
1.273
|
|||
1
|
2.542
|
|||
1
|
1.91
|
|||
1
|
2.229
|
|||
1
|
1.91
|
|||
Rhizophora apiculata
|
15
|
7
|
1.5
|
2.229
|
1.5
|
1.592
|
|||
1.5
|
1.91
|
|||
8
|
1.3
|
2.229
|
||
1.3
|
1.592
|
|||
1.3
|
1.91
|
|||
1.3
|
2.229
|
|||
1.3
|
1592
|
|||
9
|
1.2
|
2.547
|
||
1.2
|
2.229
|
|||
1.2
|
1.592
|
|||
1.2
|
1.91
|
|||
1.2
|
1.273
|
|||
1.2
|
2.229
|
|||
1.2
|
1.91
|
|||
Bruguiera exarisalata
|
1
|
4
|
0.5
|
1.5
|
Ceriops dekanda
|
1
|
5
|
1.5
|
2
|
Tabel 2.
Hasil Perhitungan Semai Mangrove
Spesies
|
Jumlah total
|
Jumlah plot
|
K
|
KR (%)
|
F
|
FR (%)
|
INP(%)
|
Rhizophora mucronata
|
20
|
3
|
5555.6
|
43.4
|
0.333
|
37.5
|
80,546
|
Rhizophora apiculata
|
15
|
3
|
4166.67
|
32.6
|
0.333
|
37.5
|
70,108
|
Bruguiera exarisalata
|
4
|
1
|
1111.11
|
8.69
|
0.111
|
12.5
|
21,195
|
Ceriops decandra
|
7
|
1
|
1,944
|
15.21
|
0.111
|
12.5
|
27,771
|
Gambar 9. Grafik Hasil Perhitungan Semai Mangrove
Pancang
Tabel 3.
Data Identifikasi Tinggi dan Diameter Pancang Mangrove
Spesies
|
Jumlah Total
|
Jumlah Plot
|
Tinggi
|
Diameter
|
|
Rhizophora mucronata
|
9
|
1
|
3
|
9
|
|
2.2
|
6
|
||||
7
|
1.9
|
5.059
|
|||
1.9
|
4.458
|
||||
1.9
|
4.777
|
||||
1.9
|
5.095
|
||||
8
|
1.8
|
5.414
|
|||
9
|
1.9
|
4.458
|
|||
5.095
|
|||||
Rhizophora apiculata
|
13
|
2
|
3.5
|
||
7
|
1.9
|
4.777
|
|||
1.9
|
4.458
|
||||
9
|
4.777
|
||||
3.821
|
|||||
5.095
|
|||||
Avicennia lanata
|
4
|
4
|
3
|
3
|
|
9
|
4
|
||||
5
|
6
|
6.6
|
|||
6
|
6
|
7.5
|
|||
Avicennia affinalis
|
2
|
4
|
3.5
|
4
|
|
5
|
4
|
8.5
|
|||
Bruguiera gymnorhiza
|
1
|
4
|
4.5
|
||
Tabel 4.
Hasil Perhitungan Pancang Mangrove
Spesies
|
Jumlah total
|
Jumlah plot
|
K
|
KR (%)
|
F
|
FR (%)
|
INP(%)
|
Rhizophora mucronata
|
9
|
3
|
400
|
13.65
|
0.44
|
30,769
|
44,405
|
Rhizophora apiculata
|
13
|
3
|
577.78
|
19.69
|
0.333
|
23.07
|
42,772
|
Avicennia lanata
|
40
|
4
|
1777.78
|
60,606
|
0.333
|
23,076
|
83,682
|
Avicennia afficianalis
|
2
|
2
|
88,889
|
3,030
|
0.222
|
15,384
|
18,444
|
Brugeira gymnorhiza
|
2
|
1
|
88,889
|
3,030
|
0.111
|
7,692
|
10,726
|
Gambar 10.
Grafik Hasil Perhitungan Pancang Mangrove
Pohon
Tabel 5.
Data Identifikasi Tinggi dan Diameter
Pohon Mangrove
Spesies
|
Jumlah Total
|
Jumlah Plot
|
Tinggi
|
Diameter
|
Rhizophora mucronata
|
32
|
1
|
4
|
13
|
4.5
|
11
|
|||
4
|
12
|
|||
4.5
|
11
|
|||
2
|
4
|
13.5
|
||
4
|
13
|
|||
3
|
12
|
|||
3
|
5
|
25
|
||
4
|
21
|
|||
3.4
|
15
|
|||
7
|
2.5
|
10.191
|
||
2.5
|
12.738
|
|||
2.5
|
11.464
|
|||
2.5
|
11.783
|
|||
|
13.057
|
|||
8
|
2.5
|
11.464
|
||
2.5
|
13.057
|
|||
2.5
|
12.738
|
|||
2.5
|
10.191
|
|||
2.5
|
13.057
|
|||
2.5
|
11.464
|
|||
9
|
3
|
11.783
|
||
3
|
11.464
|
|||
3
|
12.783
|
|||
3
|
11.783
|
|||
3
|
11.464
|
|||
3
|
10.191
|
|||
3
|
13.057
|
|||
3
|
11.464
|
|||
Rhizophora apiculata
|
16
|
1
|
4
|
13
|
4
|
12
|
|||
3.5
|
11
|
|||
2
|
|
19
|
||
4
|
14
|
|||
4
|
|
|||
3
|
4.5
|
16.5
|
||
4
|
17.5
|
|||
5
|
7.5
|
12.5
|
||
6
|
7
|
10.5
|
||
7
|
3
|
12.738
|
||
3
|
13.057
|
|||
3
|
10.191
|
|||
8
|
3
|
11.783
|
||
3
|
11.464
|
|||
3
|
10.191
|
|||
9
|
3
|
13.057
|
||
3
|
10.191
|
|||
4
|
10.591
|
|||
4
|
11.464
|
|||
4
|
11.783
|
|||
|
11.464
|
|||
|
12.783
|
|||
|
13.373
|
|||
|
10.191
|
|||
Avicennia lanata
|
1
|
9
|
|
11.146
|
Tabel 6.
Hasil Perhitungan Pohon Mangrove
Spesies
|
Jumlah total
|
K
|
KR (%)
|
F
|
FR (%)
|
INP(%)
|
D
|
DR (%)
|
Rhizophora mucronata
|
32
|
355,556
|
41,025
|
0.667
|
40,011
|
180,546
|
44986,196
|
99,510
|
Rhizophora apiculata
|
16
|
177,778
|
20,512
|
0.889
|
53,329
|
172,418
|
31292,809
|
98,577
|
Avicennia lanata
|
3
|
333.3
|
38.46
|
0.111
|
6,658
|
141,119
|
1083,590
|
100
|
Gambar 11.
Grafik Hasil Perhitungan Pohon Mangrove
Tabel 7.
Data Identifikasi Daun dan Propagul Mangrove
Spesies
|
Jumlah Total
|
Jumlah Plot
|
Daun (cm)
|
Propagul (cm)
|
Rhizophora apiculata
|
21 daun, 1propagul
|
1
|
P = 17
|
|
L = 4.3
|
||||
2
|
P = 13
|
p = 31
|
||
L = 5.5
|
l = 1
|
|||
P = 13
|
||||
L = 5.5
|
||||
P = 18
|
||||
L = 6
|
||||
3
|
P = 13
|
|||
L = 4
|
||||
4
|
P = 13.5
|
|||
L = 9
|
||||
5
|
P = 5
|
|||
L = 12
|
||||
6
|
P = 19
|
|||
L = 7
|
||||
7
|
P = 4
|
|||
L = 13
|
||||
P = 12
|
||||
L = 7
|
||||
P = 13
|
||||
L = 7
|
||||
8
|
P = 14
|
|||
L = 5
|
||||
P = 12
|
||||
L = 6
|
||||
P = 11
|
||||
L = 6
|
||||
9
|
P = 17
|
|||
L = 6
|
||||
P = 12
|
||||
L = 6
|
||||
P = 12
|
||||
L = 6
|
||||
P = 13
|
||||
L = 6
|
||||
Rhizophora mucronata
|
10 daun, 4 propagul
|
1
|
P = 9.3
|
|
L = 3
|
||||
2
|
P = 14
|
p = 14
|
||
L = 7
|
l = 1
|
|||
3
|
p = 22.5
|
|||
l = 1.5
|
||||
7
|
P = 12.4
|
p = 3
|
||
L = 4
|
l = 5
|
|||
P = 11
|
||||
L = 3
|
||||
P = 12
|
||||
L = 5
|
||||
8
|
P = 14.5
|
|||
9
|
L = 5
|
|||
P = 17
|
||||
L = 6
|
||||
P = 12
|
||||
L = 6
|
||||
P = 12
|
||||
L = 6
|
||||
P = 13
|
||||
L = 6
|
||||
Bruguiera exarisalata
|
1 daun
|
4
|
P = 9
|
|
L = 3.5
|
||||
Ceriops dekanda
|
1 Daun
|
5
|
P = 6.5
|
|
L = 8.5
|
||||
Avicennia lanata
|
3 daun
|
4
|
P = 10
|
|
L = 7
|
||||
5
|
P = 14
|
|||
L = 16
|
||||
6
|
P = 8
|
|||
L = 6.5
|
||||
Avicennia affinalis
|
1 Daun
|
4
|
P =12.5
|
|
L = 6
|
||||
Bruguiera gymnorhiza
|
1 Daun
|
4
|
P =13.5
|
|
L = 5
|
Pembahasan
Pulau Sembilan merupakan wilayah pesisir yang kondisi alamnya sangat
baik dan mendukung ekosistem-ekosistem pesisir termasuk ekosistem mangrove
untuk mendominasi wilayah tersebut. Ini dikarenakan tumbuhan mangrove dapat
tumbuh dengan wilayah yang tanahnya tergenang air laut dan dipengaruhi oleh
pasang surut. Hal tersebut sesuai dengan literatur Haryani (2013) yang
menjelaskan bahwa Hutan
mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah
teluk dan di muara sungai dengan ciri-ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah
tergenang air laut, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk,
dan jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari: api-api (Avicenia sp. ),
pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera
sp.), nyirih (Xylocarpus sp.) dan nipah (Nypa sp.).
Ekosistem
mangrove memiliki pengertian yang berbeda dengan bakau. Mangrove sendiri
merupakan sebuah ekosistem yang mana didalamnya terdapat lebih dari satu
spesies atau jenis pohon dan semak yang mendominasi ekosistem tersebut dengan
karakteriktik dan pola adaptasi yang umumnya berbeda, sedangkan hutan bakau
sendiri umumnya hanya didominasi oleh
satu jenis atau satu spesies saja yaitu Rhizophora
sp. Hal tersebut sesuai dengan literatur Syamsurial (2011) yang menjelaskan
bahwa Mangrove
dapat didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di
lingkungan laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut,
mulai dari batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Struktur vegetasi
hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus)
yang termasuk ke dalam delapan famili.
Komunitas mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah
tropis dan subtropis. Hampir 75% tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS,
terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Karakteristik
atau ciri-ciri khusus dari vegetsi yang ditemukan di lokasi praktikum umumnya
adalah memiliki perakaran pneumatofor atau yang umum dikenal dengan sebutan
akar napas. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa vegetasi yang ditemukan di
lokasi praktukum adalah jenis dari tumbuhan mangrove. Yang mana tumbuhan
mangrove memiliki jenis perakaran napas sebagai bentuk adaptasinya terhadap
lingkungan bergaram serta daerah yang cenderung berlumpur, hal ini sesuai
dengaan literatur Setyawan (2005) yang menjelaskan bahwa Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri tumbuhan berpembuluh (vaskuler), beradaptasi
pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya sebagian besar garam dan mengeluarkan
atau menyimpan kelebihan garam, beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan
biji vivipar yang tumbuh dengan cepat dan dapat mengapung, serta beradaptasi terhadap kondisi tanah anaerob dan
lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk menyokong dan
mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas mangrove terdiri
dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove,
kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove
adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia
yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove.
Kondisi alam di Pulau Sembilan dapat
dikategorikan baik. Gelombang laut, angin yang tidak terlalu besar, tersedianya
organisme-organisme air seperti ikan, udang, kepiting sangat membantu masyarakat
sekitar yang umumnya berprofesi sebagai nelayan untuk melangsungkan
pekerjaannya, kondisi tersebut juga menjadi daya dukung yang sangat berpengaruh
terhadap kegiatan budidaya khususnya keramba jaring apung yang dibuat disekitar
pulau tersebut. Kondisi alam yang baik tersebut berkaitan erat dengan adanya
ekosistem mangrove yang mengelilingi wilayah Pulau Sembilan itu sendiri.
Ekosistem mangrove menjalankan fungsi ekologisnya dengan sangat baik, yaitu
sebagai peredam gelombang, angin dan badai, sebagai habitat, tempat mencari
makan dan tempat asuhan serta pembesaran bagi organisme air. Hal tersebut
sesuai dengan literatur Wijaya (2011) yang menjelaskan bahwa Fungsi
ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi. Berjenis-jenis
biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung dengan
keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai
tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang,
dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis
tinggi.Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling penting dari
ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah
daunnya.Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa rantai makanan
akuatik.
Dari hasil pengamatan yang didapat di lokasi praktikum
diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh di wilayah yang cenderung dekat
dengan daratan adalah Nypa sp.,
kemudian disusul dengan spesies-spesies lain seperti Bruguiera sp., Rhizophora sp., dan Avicennia sp., adanya perbedaan
spesies pada setiap wilayah mulai dari daratan hingga wilayah yang paling dekat
dengan laut menunjukkan bahwa di dalam ekosistem mangrove terdapat
zonasi-zonasi tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap spesies yang tumbuh
di ekosistem tersebut. Setiap zonasi juga mempengaruhi pola adaptasi dari
pertumbuhan setiap spesies yang ada di dalam ekosistem mangrove itu sendiri. Hal
tersebut sesuai dengan literatur Sari (2014) yang menyatakan bahwa Hutan mangrove dibagi menjadi
zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke
darat sebagai berikut: Zona Avicennia sp.; terletak paling luar dan
berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur dan
kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pionir karena jenis tumbuhan
ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan gelombang dan mampu membantu
dalam proses penimbunan sedimen. Zona Rhizophora sp.; terletak di
belakang zona Avicenia sp., substratnya masih berupa lumpur lunak, namun
kadar salinitasnya lebih rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada
saat air pasang. Zona Bruguiera sp.; terletak di belakang zona Rhizophora
sp. dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam
pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan. Zona Nypa
fruticans; terletak paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan
yang diperoleh dari praktikum
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Ekosistem hutan
mangrove yang ada di Pulau Sembilan masih termasuk ekosistem yang subur dengan
akar-akar yang kuat dan memiliki keanekaragaman yang tinggi.
2.
Berdasarkan
pengamatan yang di lakukan di Pulau Sembilan, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
jenis mangrove yang di dapat pada stasiun 1 tahun 2011 yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
Avicennia lanata, Avicennia officinalis Ceriops decandra, Bruguiera
exarisatata, bruguiera gymnorhiza.
3.
beberapa faktor
yang menjadi faktor pertumbuhan ekosisitem mangrove adalah seperti salinitas,
fisiografi pantai, substrat, suhu, drajat keasaman (pH), dan zat hara.
Saran
Saran
dari penyusun
terhadap praktikum yang dilakukan adalah sebaiknya praktikan dalam melakukan
praktikum lapangan untuk menganalisis vegetasi mangrove tidak cukup hanya
mengukur pH dan salinitas, tapi yang lain juga perlu dilakukan pengukuran.
Selain itu praktikan diharapkan lebih sigap dan hati-hati, serta tidak membuang
sisa praktikum karena mengganggu keseimbangan lingkungan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Aflaha, E. 2014. Manfaat Mangrove Sebagai Pelestarian Lingkngan Hidup di Desa
Olaya Kecamatan Parigi Kabupaten
Parigi Moutong. Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah.
Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. Medan.
Universitas Sumatera Utara (USU-Press), Medan.
Bengen,
D.G. 2000.Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengolahan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut.Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dahuri R, Ginting S.R.P, Rais J, dan Sitepu J.G. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha, Jakarta.
Edi, M., O. Hendriyanto dan N. Fitriani.
2010. Konservasi
Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Universitas Pembangunan Nasional. Jawa Timur.
Hardianty.2013.
Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Kawasan Ekowisata di Pantai Boe Kecamatan Galesong, Takalar. [Skripsi].
Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Haryani, N.S. 2013. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Citra Landsat. Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional. Jakarta.
Prayunita, dkk. 2012. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Rhizopora apiculata BI Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidanya pada Tingkat Pohon (Growth and biomass Rhizopora apiculata BI seedlings under varied salinities and their lipid content at tree stage). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Purwanto, A. D., Wikanti, A., Gathot, W. dan Ety, P. 2014. Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove Menggunakan Citra Landset 8 di Segara Anakan, Cilacap. Pusat Pemenfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta.
Sari, S., A. Pratomo dan Y. Falmi. 2014. Hubungan
Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Pelecyphoda di Pesisir Kota Rebah Kota
Tanjungpinang. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.
Setyawan, A. D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto,
K. Winarno dan S. Ari. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1.
Keanekaragaman Jenis. Jurnal Biodiversitas. 6(2): 1-2. ISSN:1412-033X.
Setyawan,
dkk., 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah:
1.
Keanekaragaman Jenis. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Subari, S. 2009. Teknik
Menentukan Batasan Hutan Mangrove Lestari (Studi Kasus Pesisir Kabupaten
Sidoarjo). 6(1):1-2. ISSN: 0216-0188.
Syah, A.
F. 2010. Penginderaan Jauh dan Aplikasinya di Wilayah Pesisir dan Lautan.Universitas
Trunojoyo, Madura. Vol 3 (1) : 18-28.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Talib, M. F. 2008. Struktur
dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi,
di Desa Tanah Merah Dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tambunan, R., H. Harahap dan Z. Lubis. 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan). Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Tambunan, R., R. H. harahap dan L. Zulkifli.
2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di
Kabupaten Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan). Jurnal Studi Pembangunan. 1(1): 1-2.
Waas,
H. J. D. dan B. Nababan. 2010. Pemetaan dan Analisis Index Vegetasi Mangrove di
Pulau Saparua, Maluku Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1):
50-58
Wiyanto, D. B. dan Elok, F.
2010. Analisis Vegetasi Dan
Struktur Komunitas Mangrove Di Teluk Benoa-Bali. Universitas Udayana, Bali.
Wonatorei, H. K. 2013. Identifikasi
Jenis – Jenis Tumbuhan Mangrove di Kampung Sanggei Distrik Urei – Faisei Kabupaten
Waropen. [Skripsi]. Universitas Negeri Papua, Manokwari