Latar belakang
Sumber daya ikan merupakan salah satu sumberdaya alam
yang dapat pulih (renewable resoursces) sehingga
apabila dikelola dengan
baik dapat memberikan hasil
maksimum berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara.
Pengelolaan perikanan selain
setelah memberikan keuntungan, juga
meninggalkan berbagai permasalahan,
seperti kelebihan penangkapan (overfishing) dan
kerusakan habitat (Habitat destruction). Interaksi kelebihan
penangkapan dan kerusakan
habitat telah memberikan dampak terhadap
penurunan produksi perikanan
dunia. Resiko ancaman kelestarian ikan
laut telah menjadi suatu masalah
dan beberapa spesies didokumentasikan mulai terancam (Murniati, 2011).
Sektor perikanan memiliki peranan strategis dalam
pembangunan nasional. Sektor perikanan juga menyerap banyak tenaga kerja, mulai
dari kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, distribusi dan perdagangan.
Oleh karena itu, pembangunan sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh
pemerintah Indonesia. Dengan telah menipisnya potensi lestari sumberdaya ikan di perairan
pantai, maka hasil tangkap nelayan menjadi semakin rendah sehingga pendapatan
merekapun dapat dikatakan jauh dari cukup untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh
sebab itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sudah saatnya
dilakukan rasionalisasi dan menentukan kebijakan yang berkaitan dengan
peningkatan armada perikanan tangkap yang mampu beroperasi di lepas pantai
sehingga nantinya tidak saja kelestarian sumberdaya ikan akan lebih terjaga,
tetapi keberlangsungan usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh banyak
nelayan juga lebih terjamin (Triarso, 2012).
Lebih tangkap atau overfishing diartikan
sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang diperbolehkan untuk
mempertahankan stok ikan lestari dalam suatu wilayah laut tertentu. Salah satu
penyebab kondisi di atas adalah adanya tekanan terhadap eksploitasi perikanan
laut (fishing pressure). Dua hal yang diakui sebagai tekanan terhadap
eksploitasi perikanan adalah pertumbuhan populasi dunia dan target
pembangunan untuk mencapai pendapatan yang tinggi dari sektor perikanan.
Kondisi ini diperburuk dengan sifat kepemilikan sumber daya perikanan sebagai common
property, lemahnya pengawasan akan pembatasan kapal ikan dan illegal
fishing. overexploited mengakibatkan waktu melaut menjadi lebih panjang,
lokasi penangkapan lebih jauh, produktivitas (hasil tangkap per satuan upaya
atau Catch per unit effort (CPUE) menurun, dan biaya penangkapan yang
menjadi besar sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan nelayan. Hal-hal di
atas adalah indikasi terjadinya overfishing (Purwaningsih, dkk., 2012).
Provinsi
Sumatera Selatan mempunyai perairan umum yang cukup luas sekitar 2.518.644 ha
meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan perairan tergenang lainnya baik yang
alami maupun yang buatan. Sungai Musi merupakan salah satu perairan umum di
Sumatera Selatan yang menjadi muara puluhan sungai besar dan kecil lainnya,
baik di Bengkulu maupun Sumatera Selatan. Dari sumber-sumber air itulah di
antaranya air Sungai Musi berasal dan mengalir hingga sejauh 720 kilometer.
Mata airnya berada di bagian hulu di daerah Bukit Barisan di Desa Teberena dan
bermuara ke laut di Selat Bangka. Sungai Musi terletak antara 2-4° Lintang
Selatan dan antara 102-105° Bujur Timur (Eddy, 2013).
Ikan
selar kuning merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis
penting. Populasi ikan selar kuning dikhawatirkan akan menurun akibat
penangkapan yang dilakukan secara terus menerus. Laju eksploitasi ikan selar
kuning melebihi laju eksploitasi optimum sehingga ikan selar kuning diperairan
Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Pengelolaan ikan selar kuning
sebaiknya melalui pengaturan upaya penangkapan dan pengaturan ukuran mata
jaring yang dipakai lebih dari 6 cm (Suciati, 2014).
Tujuan
Praktikum
Tujuan
dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan selar (Selaroides leptolepis).
2.
Untuk mengetahui jumlah potensi maksimum
lestari (MSY) dari ikan Selar (Selaroides leptolepis).
3. Untuk
mengetahui Total tangkapan yang dibolehkan (TAC) dari ikan Selar di perairan Sumatera Selatan
Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan
ini adalah sebagai syarat masuk dan syarat mengikuti Praktikal Test
Laboratorium Dinamika Populasi Ikan dan sebagai sumber informasi bagi pihak
yang membutuhkan referensi terkait Ikan Selar (Selaroides leptolepis).
Potensi
Sumberdaya Ikan di Perairan Sumatera Selatan
Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang
cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar
pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan
tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang
masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya
gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera
Selatan. Meskipun demikian, pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini masih
dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi unggulan daerah dan kebijakan
perikanan yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung
jawab. Beragamnya jenis sumberdaya ikan yang ada di perairan Sumatera Selatan
hendaknya disikapi dengan bijak dan hati-hati. Jenis spesies tertentu mulai
mengalami penurunan produksi karena penangkapan intensif, namun spesies lain
memiliki peluang pengembangan yang sangat besar. Oleh karena itu maka pengembangan
perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan harus segera
dilaksanakan (Septifitri, dkk., 2009).
Sektor
kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor
unggulan karena memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh
karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan
mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan
pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah
dan devisa negara. Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan
cepatnya serta mengantisipasi perubahan eksternal dan internal, maka Visi
pembangunan kelautan dan perikanan di Sumatera Selatan adalah sumberdaya
kelautan dan perikanan beserta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya
merupakan sumber penghidupan dan pembangunan ekonomi dan sosial budaya yang
harus dikelola secara berkelanjutan, guna meningkatkan pendapatan nelayan. Luas
laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi
Sumatera Selatan kurang lebih 37.000 km2. Berdasarkan hasil kajian Komisi
Nasional Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) di laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar adalah 0,32
ton/km2, pelagis kecil 2,26 ton/km2, demersal 1,2 ton/km2, dan udang 0,18
ton/km2. Sehingga total potensi yang ada di wilayah pengelolaan tersebut adalah
146.520 ton dengan pembagian ikan pelagis besar sebanyak 11.840 ton, pelagis
kecil 83.620 ton, ikan demersal 44.400 ton dan udang 6.660 ton. Berdasarkan
hasil tersebut, maka pemanfaatan sumberdaya ikan laut di WPP tersebut oleh
Provinsi Sumatera Selatan baru sekitar 33,95 % dari potensi yang ada
(Septifitri, dkk., 2010)
Klasifikasi
dan Ciri-Ciri Morfologi Ikan Selar (Selaroides
leptolepis)
Ikan
Selar adalah salah satu jenis ikan pelagis kecil (ikan permukaan) yang
hidup pada laut dalam kawasan tertentu. Ikan ini banyak tertangkap di perairan
pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m dan merupakan salah satu
ikan yang banyak diminati masyarakat. Permintaan yang banyak dan harga yang
cukup tinggi akan mendorong peningkatan penangkapan pada ikan ini. Laut Natuna merupakan salah satu wilayah
penangkapan ikan selar di Tanjungpinang. Studi potensi sumberdaya perikanan dan
kelautan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006-2011 menyatakan potensi untuk ikan
selar sebesar 1.288 ton/tahun (22 % dari total tangkapan pelagis kecil)
(Febrianti, dkk., 2005).
Menurut Wijayanti (2009), Ikan selar kuning termasuk ke dalam golongan ikan pelagis kecil.
Nama Internasional dari ikan selar kuning adalah Yellowstripe scad.
Klasifikasi ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Percomorphi
Famili : Carangidae
Genus : Selaroides
Spesies : Selaroides leptolepis
Karakteristik: badan
agak pipih (vertikal)
dan memanjang. Mata besar (dibanding
pada ikan Layang), sirip dada
panjang dan meruncing seperti bulan
sabit dan pada
sisi badan terdapat
garis berwarna kuning dari belakang
kepala sampai ekor.
Pada tutup insang
terdapat noda berwarna hitam, gurat
sisi menjadi scute
pada ekor dan terdapat dua
duri keras di depan
sirip dubur. Punggung berwarna
biru kehijauan, sedangkan
bagian perut berwarna putih
keperakan. Spesies yang paling
umum ditemukan di perairan Indonesia adalah: Selaroides
Leptolepis, Selar boops dan Selar
Crumenophthalmus. Nama lokal: Pelata
Kuning, Pelata Sanui, Selar Kuning, Angora, Jalu-Jalu, Lolong Jalur (Sapira,
dkk., 2008).
Warna tubuh ikan memiliki daya tarik
tersendiri,bagian atas berwarna biru
metalik, sedangkan bagian bawah berwarna
putih keperakan. Terdapat garis kuning
yang memanjang dari belakang mata sampai caudal peducle dengan titik hitamyang
mencolok pada belakang operculum. Sirip dorsal, anal, dan kaudal berwarna pucat
sampai kekuningan, serta sirip pelvic yang umumnya berwarna putih (Wijayanti,
2009).
Gambar 1. Ikan selar (Selaroides leptolepis)
Distribusi
Ikan Selar (Selaroides leptolepis)
Sebaran ikan
selar tersebar di Perairan Leupung yang memiliki jumlah
hasil tangkapan mencapai 0-20 kg. Pada
Perairan Samudra Hindia,
Perairan Pulau Breuh,
Perairan Pulau Nasi, Perairan Krueng Raya memiliki jumlah
hasil tangkapan mencapai
20-100 kg. Pada Teluk Benggala memiliki jumlah hasil
tangkapan mencapi 100-170
kg. Pada wilayah sekitaran Perairan Pulau
Weh memiliki jumlah hasil tangkapan mencapai
270-400 kg dan pada
bagian selatan Pulau Weh memiliki jumlah hasil tangkapan mencapai 400-600 kg
dan memiliki daerah sebaran ikan (Kurnia, dkk., 2016).
Daerah
distribusi ikan selar meliputi Sumatera (Teluk Betung, Tarusan dan Sibolga),
Palu, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi (Makasar, Bulu kumba dan
Manado), Laut Banda, Gisser, Kei
Island-Red Sea, Zanzibar, Natal Coust, Madagaskar, Bourhan, South Arabia, India, Solomon Island, San Wich Island, Admirality
Island– Circumtropical (Wijayanti, 2009).
Alat Tangkap Ikan Selar
Payang
Penggunaan
alat tangkap payang atau nelayan setempat biasa menyebutnya sebagai payang
ampera sebagai bahan penelitian,
dikarenakan alat tangkap
payang mempunyai konstruksi
kantong yang berbahan waring yang tentunya tidak memberi kesempatan ikan-ikan
yang muda untuk tumbuh dan
berkembang, bertambah nilai
ekonominya serta kemungkinan
berproduktif sebelum ikan
tersebut tertangkap. Dengan percobaan penambahan window
diharapkan dapat meloloskan ikan berukuran kecil dari dalam kantong dan
menghitung selektivitas alat tangkap modifikasi tersebut (Hakim, dkk., 2014).
Payang
adalah pukat kantong lingkar yang secara garis besar terdiri dari bagian kantong, badan/perut dan kaki/sayap. Payang mempunyai
bagian atas mulut jaring yang
menonjol ke belakang. Hal ini
dikarenakan payang tersebut
umumnya digunakan untuk menangkap jenis-jenis
ikan pelagis yang
biasanya hidup di
bagian atas air
dan mempunyai sifat cenderung
lari ke lapisan bawah
bila telah terkurung
jaring. Payang mempunyai bagian
bawah mulut jaring lebih
menonjol ke depan
maka kesempatan lolos menjadi terhalang dan akhirnya masuk ke dalam
kantong jaring. Pada bagian bawah kaki/sayap dan
mulut jaring diberi
pemberat, sedangkan bagian atas
pada jarak tertentu diberi
pelampung. Pelampung yang
berukuran paling besar ditempatkan
di bagian tengah dari mulut jaring.
Pada kedua ujung depan kaki/sayap
disambung dengan tali
panjang yang umumnya
disebut tali selambar (Aprilia
2011).
Payang termasuk ke
dalam pukat kantong (seine net) yang
pengoperasiannya masih terbatas di wilayah sekitar pantai dengan menggunakan
perahu atau pun dilengkapi dengan motor tempel dalam ukuran yang relatif kecil.
Payang termasuk dalam kelompok besar “seine
net” yaitu alat tangkap yang memiliki wrap
penarik yang sangat panjangn dengan cara melingkari area atau wilayah
seluas-luasnya dan kemudian menariknya
ke pantai/kapal. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap
panjang dan tali penarik disertai pelampung dan pemberat. Alat ini sesuai
perkembangan dimodifikasi disesuaikan dengan daerah penangkapan dan spesies
ikan yang ditangkap (Afriyanto, 2008).
Gambar 2. Payang
Jaring
Insang Hanyut
Gill net sering diterjemahkan dengan sebutan jaring
insang , jaring rahang dan lain-lain. Istilah gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap
terjerat di sekitar operkulumnya pada mata jaring. Dalam bahasa Jepang, gill net disebut dengan istilah “sasi-ami”, yang berdasarkan pemikiran
bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa ikan ikan
tersebut “menusukkan diri -sasi” pada
“jaring-ami”. Di Indonesia, penamaan gill net ini beraneka ragam, ada yang
menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring kuro, jaring udang,
dan sebagainya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang
Bayeman), dan sebagainya (Efkipano, 2012).
jaring insang
hanyut adalah jaring
insang yang cara pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu
dihanyutkan di bagian permukaan, kolom
perairan atau di
dasar perairan. Jaring
insang hanyut biasanya terbuat
dari bahan nylon multifilament berwarna
biru gelap. Hal
ini bertujuan agar bahan
jaring yang tidak
kaku (lembut) dan
warna jaring yang kontras dengan warna perairan lebih
mudah untuk ikan terjerat atau terpuntal pada badan jaring (Pratiwi, 2010).
Gambar 3. Gillnet
(Jaring Insang hanyut)
Jaring Insang Tetap
Jaring
insang adalah kelompok jenis alat penangkapan ikan berupa jaring
yang berbentuk
empat persegi panjang dilengkapi dengan pelampung, pemberat,
tali ris atas dan
tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah untuk menghadang ikan sehingga ikan
tertangkap dengan cara terjerat dan/atau terpuntal dioperasikan di permukaan,
pertengahan, dan dasar secara menetap, hanyut, dan melingkar dengan tujuan
menangkap ikan pelagis dan demersal, dengan nomor SNI 7277.8:2008. Berdasarkan
kedudukannya pada waktu dilabuhkan atau dipasang dapat dibedakan menjadi jaring
insang hanyut (drift gill net) yaitu
jaring insang yang pengoperasiannya dihanyutkan dalam perairan; jaring insang
tetap (set gill net) yaitu jaring insang yang pengoperasiannya diposisikan atau
dipasang menetap dalam waktu tertentu dengan menggunakan pemberat/jangkar dalam
perairan (Efkipano, 2012).
Dilihat
dari cara pengoperasiannya alat tangkap ini dapat dihanyutkan (drift gill net), dilabuhkan (set gill net) dan dilingkarkan (encircling gill net). Ikan yang
tertangkap biasanya karena terjerat (gilled) pada bagian belakang lubang penutup insang (opecalum), terbelit/terpuntal (entagled) pada mata jaring yang terdiri
dari satu lapis, dua lapis maupun tiga lapis. Jaring insang dioperasikan dengan tujuan menghadang ruaya gerombolan ikan. Pada
umumnya ikan-ikan yang
menjadi tujuan penangkapan
adalah jenis ikan yang
baik horizontal migration
maupun vertical migration-nya
tidak seberapa aktif, dengan perkataan lain migrasi dari ikan-ikan
tersebut terbatas pada sutu depth/layer
tertentu di perairan (Aprilia, 2008).
Gambar 4. Jaring Insang Tetap
Bagan Tancap
Bagan sebagai salah satu alat tangkap yang menggunakan
cahaya banyak digunakan oleh para nelayan di wilayah pesisir untuk menangkap
ikan karena mempunyai beberapa keunggulan.Keunggulan tersebut antara lain: (1)
Secara teknis mudah dilakukan (khususnya bagan tancap); (2)investasinya
terjangkau oleh oleh masyarakat; (3) merupakan perikanan rakyat yang telah
digunakan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sekitar pulaupulau kecil
secara turun-temurun; (4) tangkapannyaselalu ada walaupun terkadang jumlahnya
sedikit; (5)menyerap banyak tenaga kerja; (6) teknologinya sangat sederhana
(Sudirman, 2013).
Gambar 5. Bagan Tancap
Pancing
Ulur
Penggulung
tali pancing ulur yang digunakan berbentuk bundar yang terbuat dari plastik dan
kayu. penggulung tali pancing pada umumnya terbuat dari kayu atau plastik dan
ukuran penggulung tersebut disesuaikan dengan panjangnya tali pancing. Penggunaan
penggulungan tali pancing bertujuan untuk memudahkan proses pengoperasian alat
tangkap yaitu agar tali tidak kusut dan dapat digulung setelah operasi
penangkapan selesai kemudian disimpan untuk digunakan kembali pada saat
pengoperasian berikutnya. Tali penarik yang digunakan bernomor 60 dengan
panjang 100-150 meter. Bahan terbuat dari Monofilamen, yang biasa
disebut tasi oleh nelayan di sekitar
pulau Tambelan (Kurnia, dkk., 2012).
Proses
pengoperasian pancing ulur tuna yang dipraktekkan oleh nelayan di Kabupaten
Kepulauan Sangihe adalah sebgai berikut: setelah armada mencapai rumpon di
daerah penangkapan, maka nelayan terlebih dahulu akan memancing ikan umpan dengan
menggunakan pancing ulur dengan ukuran mata pancing kecil. Pancing ulur untuk
menangkap ikan umpan biasa disebut sebagai pancing bira-bira. Jenis mata
pancing yang digunakan adalah jenis mata pancing berkait balik nomor 12. Ada
beberapa jenis ikan umpan yang biasa digunakan yaitu ikan layang, juwana
cakalang, juwana tuna dan jenis ikan tongkol. Setelah mendapatkan ikan umpan
penangkapan ikan tuna dilakukan dengan menggunakan pancing ulur khusus untuk tuna
dengan ukuran tali dan mata pancing besar. Spesifikasi pancing ulur tuna. Pancing
ulur tuna dioperasikan pada siang hari yaitu mulai pagi hingga sore hari
(Rahmat dan Salim, 2013).
Gambar 6. Pancing Ulur
Metode
Surplus Produksi
Model MPS dibangun dengan
asumsi bahwa sumberdaya ikan berada pada ‘steady state or equilibrium
condition’ dan ‘constant catchability’. Dalam kenyataannya kondisi equilibrium
tersebut sangat jarang terjadi. Dari pengalaman di Negara dimana konsep ini
berasal adalah bahwa konsep ini menghasilkan estimasi yang terlalu tinggi,
sehingga dalam aplikasinya harus benar-benar menerapkan ‘precautionary
approach’.. Dari tabel Produksi jenis ikan per-jenis alat tangkap dapat
dihitung hasil tangkapan per-unit alat (C/A) untuk tahun tertentu. Alat tangkap
yang mempunyai angka C/A yang tertinggi dinyatakan sebagai alat tangkap
standar, dimana nilai FPI = 1,00. Nilai FPI alat tangkap lainnya dikonversi ke
nilai FPI yang tertinggi tersebut. Menurut
model Schaefer:C/f =a – bf C = af - bf 2. Pada titik effort maksimum (Fmax),
maka hasil tangkapan akan menjadi Nol. C = af – bf 2 = 0; Jika demikian pada
titik tersebut a = bf; atau f = a/b. Pada Catch maksimum (MSY), maka tingkat
effort (Fopt) berada pada setengah tingkat effort maksimum (1/2 . a/b = a/2b)
dari data (Badrudin, 2013).
Model
produksi surplus dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan rajungan di
perairan Teluk Banten. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang
umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini
dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan
secara runut waktu (time series) yang umumnya tersedia di setiap tempat
pendaratan ikan. Model yang diterapkan dalam perikanan mungkin berbeda untuk
ikan yang berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang
berbeda belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan
jenis ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok
diterapkan mungkin saja berbeda. Model yang paling sederhana dalam dinamika
populasi ikan adalah model produksi surplus. Model ini memperlakukan ikan
sebagai biomasa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan
sederhana, kenaikan dan penurunan biomasa. Model-model produksi surplus
mengabaikan proses biologi dalam suatu stok ikan dengan mengasumsikan bahwa
stok tersebut dapat diperlakukan sebagai biomasa agregat. Bila semua faktor
lain tetap konstan, biomasa agregat dari suatu stok ikan akan menurun ketika
tekanan dilakukan terhadap sumberdaya tersebut melalui kenaikan upaya
penagkapan (Pasisingi, 2011).
Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan Ikan Selar
Sumberdaya
ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya perikanan yang keberadaannya berada
pada lapisan permukaan. Dimana terdiri dari banyak spesies dan ukuran yang
badannya relative tetap kecil walaupun ssudah dewasa. Beberapa jenis yang
termasuk dalam kelompok pelagis kecil adalah: teri, selar, tembang, siro, lemuru,
laying, kembung, bawal putih, alu-alu, tetengek, sunglir, ikan terbang,
belanak, julung-julung, golokgolok dan ekor kuning. Pembangunan perikanan dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya perikanan didasarkan pada suatu konsepsi hasil maksimum
yang menjamin usaha dapat berkelanjutan. (Maximum
Sustainable Yield) dengan maksud untuk dapat memperoleh keuntungan optimum,
baik untuk masyarakat nelayan maupun bagi pengelola (poemerintah) pada saat ini
atau saat yang akan datang (Yusron, 2005).
Persamaan dari tingkat pemanfaatan
adalah TPC = Ci / MSY x 100%. Dengan keterangan TPC (Tingkat Pemanfaatan tahun
ke-I %), Ci (hasil tangkapan ikan pada tahun ke-I ton), MSY (Maximum Sustainable Yield Ton).
Persamaan dari pendugaan tingkat pengupayaan adalah TPf = f.s / f.opt x 100%.
Dengan keterangan TPf (tingkat pengupayaan pada tahun ke-i), fs (upaya
penangkapan / Effort pada tahun ke I
trip), f.opt (upaya penangkapan optimum pada tahun ke-I ton/tahun). Sementara
jumlah tangkapan yang dibolehkan dapat dicari dengan rumus TAC= 80% x MSY.
Analisis status keberlanjutan ikan pada tiap atribut dari dimensi ekologi,
ekonomi, social, ekologi, didasarkan pada instrumnent skala Likert (Lubis, dkk., 2013).
Rekomendasi Pengelolaan
Pengembangan usaha perikanan tangkap
secara umum bisa dilakukan dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha
perikanan, yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, produk
domestik bruto, devisa negara, pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi
masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa menganggu dan merusak kelestarian
sumberdaya perikanan. Beberapa permasalahan yang harus diperhatikan saat ini di
Provinsi Sumatera Selatan dengan kondisi wilayah yang memiliki potensi
perikanan yang cukup besar, namun pemanfaatan dari potensi ini belum optimal
yaitu informasi sumberdaya yang ada di sekitar wilayah pengelolaan Provinsi
Sumatera Selatan yang belum optimal, informasi tentang teknologi yang efektif
dan efisien, terjadinya persaingan areal penangkapan antara alat tangkap aktif
dan pasif, pengawasan dan penegakan hukum belum dilaksanakan secara efektif,
prasarana pelabuhan belum memadai (Septifitri, dkk.,2010).
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai
dengan bulan Juli 2006 di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Provinsi Sumatera Selatan.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang
cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar
pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan
tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang
masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya
gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera
Selatan. Meskipun demikian, pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini masih
dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi unggulan daerah dan kebijakan
perikanan yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung
jawab.
Alat
dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah alat tulis dan juga alat dokumentasi serta perangkat lunak
(Microsoft Excel) yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data
primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara wawancara dan pengumpulan
data perikanan dari berbagai lembaga terkait.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder berupa hasil wawancara dan
data-data lain yang diperoleh dari
lembaga terkait seperti lembaga pemerintah, lembaga swasta dan karya tulis
seperti pustaka dan laporan-laporan lainnya.
Metode
Praktikum
Metode
Surplus Produksi
Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah model Schaefer yang memiliki nilai R2
yang mendekati 1.
Produksi
Per Alat Tangkap Ikan Per Tahun
CPi
=[
x Ci
Keterangan
CPi: Produksi per alat tangkap pertahun
(ton/tahun)
∑Fi: Jumlah Total alat tangkap yang menangkap
jenis ikan tertentu
∑F: Jumlah unit alat tangkap yang menangkap
jenis ikan tertentu
Ci: Total Produksi pada tahun ke-i
Estimasi
Effort
Jumlah Trip = N x P
Keterangan
N: Jumlah Unit Penangkapan (∑F)
P: Rata-rata banyaknya trip
Hasil
Tangkapan / Upaya Penangkapan (CPUE)
CPUE
=
Keterangan
CPUE: Catch pe Unit Effort
Ci: Hasil
Tangkapan pada tahun ke-i
Fi: Upaya
penangkapan pada tahun ke i (Jumlah Trip)
Standarisasi
Effort
CPUEr
=
FPIi =
E = ∑FPI x Effort
Keterangan
r :
1, 2, 3… (Alat tangkap yang akan distandarisasi)
s :
1, 2, 3… (Alat tangkap standar)
i :
1, 2, 3… (Jenis alat tangkap)
CPUEr :
Total hasil tangkapan (Catch) per
upaya tangkap (Effort) dari alat tangkap yang akan distandarisasi (ton/trip)
CPUEr :
Total hasil tangkapan (Catch) per
upaya tangkap (Effort) dari alat tangkap yang dijadikan standar (ton/trip)
FPI :
Alat tangkap yang distandarisasi yang dijadikan standar
Pendugaan
Potensi Lestari dan Effort Optimum
C
= af + b(f)2……………
CPUE = a + b(f)……………
F.Opt =
MSY =
C = f exp (a
+ b (f))……….
F.Opt =
MSY = -(1/b) exp a-1
Keterangan
C :
Jumlah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (ton/trip)
a : Intercept
b : Slope
f : Upaya
penangkapan (trip) pada periode ke-i
F.opt :
Upaya penangkapan optimal (trip)
MSY :
Nilai potensi maksimal lestari
Pendugaan
Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
TPc
=
x 100%
TPf =
x 100%
TAC = 80% x MSY
Keterangan
TPc :
Tingkat pemanfaatan pada tahun ke-i
Ci :
Hasil Tangkapan ikan pada tahun ke-i
TPf :
Tingkat pengupayaan pada tahun ke-i (%)
Fs :
Effort standar pada tahun ke-I (trip)
F.Opt :
Upaya penangkapan optimum (ton/tahun)
Hasil
Hasil Tangkapan
Berdasarkan
jumlah produksi ikan selar, tahun 2003 merupakan tahun yang memiliki jumlah
produksi terbanyak yaitu sebesar 1946,3 ton, disusul oleh tahun 2006 sebesar
1312,2 ton, kemudian tahun 2007 sebesar 1282,2 ton, kemudian tahun 2005 sebesar
1031,5 ton dan yang terkecil adalah tahun 2004 sebesar 1065 ton.
Tabel 1. Produksi
Tahunan
Tahun
|
Ci (ton)
|
Alat Tangkap
|
∑ Fi
|
Jumlah Total
|
||||
|
|
Payang
|
Jaring Insang Hanyut
|
Jaring Insang Tetap
|
Bagan Tancap
|
Pancing
|
||
2003
|
1946.3
|
179
|
408
|
852
|
648
|
1042
|
5
|
3134
|
2004
|
1065
|
179
|
422
|
854
|
717
|
1064
|
5
|
3241
|
2005
|
1031.5
|
208
|
434
|
822
|
744
|
1186
|
5
|
3399
|
2006
|
1312.2
|
236
|
446
|
789
|
731
|
1308
|
5
|
3515
|
2007
|
1282.2
|
258
|
480
|
696
|
760
|
1222
|
5
|
3421
|
Nur Arlia Yusnita 140302021
|
Gambar
7. Grafik Produksi Tahunan
Upaya Penangkapan
Dari
penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa upaya penangkapan tahunan yang
nilainya paling rendah dihasilkan oleh alat tangkap pancing pada tahun 2005
yaitu 434,865 ton/tahun, kemudian pada tahun 2004 sebanyak 500,470 ton/tahun, tahun
2006 501,606 ton/tahun, 2007 534,632 ton/tahun
dan tahun 2003 933,925 ton/tahun. Upaya penangkapan tertinggi dihasilkan oleh
alat tangkap payang pada tahun 2003 sebanyak 5.436, 592 ton/tahun, 2004
sebanyak 2.974,860 ton/tahun, 2006 2.780,085
ton/tahun, 2007 sebanyak 2.484,884 ton/tahun dan 2005 sebanyak 2.479,567 ton/tahun.
Tabel 2. Upaya Penangkapan
Tahun
|
Ci
|
Upaya Penangkapan
(ton/tahun)
|
||||
Payang
|
Jaring Insang Hanyut
|
Jaring Insang Tetap
|
Bagan Tancap
|
Pancing
|
||
2003
|
1946,3
|
5,436.592
|
2,385.172
|
1,142.195
|
1,501.775
|
933.925
|
2004
|
1065
|
2,974.860
|
1,261.848
|
623.536
|
742.678
|
500.470
|
2005
|
1031,5
|
2,479.567
|
1,188.364
|
627.433
|
693.212
|
434.865
|
2006
|
1312,2
|
2,780.085
|
1,471.076
|
831.559
|
897.538
|
501.606
|
2007
|
1282,2
|
2,484.884
|
1,335.625
|
921.121
|
843.553
|
524.632
|
Gambar 8. Grafik Upaya Penangkapan
Pendugaan Potensi
Lestari dan Effort Optimum
Potensi lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan Selar (Selaroides leptolepis) di kawasan
Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebesar 1.548,72
ton/tahun, sementara Effort Optimum
sebesar 1.401.585 ton/tahun artinya Effort
yang dilakukan tidak melebihi batas Effort
optimum maka akan menaikkan nilai produksi. Dapat dilihat pada gambar 9
yang menunjukkan grafik potensi lestari (MSY) bahwa nilai effort setiap tahunnya tidak ada yang melampaui nilai effort optimum, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi over eksploitasi
pada data penangkapan di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir
tersebut.
Tabel
3. Pendugaaan Potensi Lestari (MSY) dan Effort
optimum
Tahun
|
Produksi
|
Effort
|
CPUE
|
ln CPUE
|
Model Fox
|
MSY
|
||
a
|
b
|
f.opt
|
||||||
2003
|
1946.3
|
380,330
|
0.005117
|
-5.27511
|
-4,9098
|
-17515e-06
|
1401585
|
1548,72
|
2004
|
1065
|
261,705
|
0.004069
|
-5.50424
|
||||
2005
|
1031.5
|
264,260
|
0.003903
|
-5.54592
|
||||
2006
|
1312.2
|
266,815
|
0.004918
|
-5.31485
|
||||
2007
|
1282.2
|
920,895
|
0.001392
|
-6.57677
|
Nur Arlia Yusnita 140302021
|
Gambar 9. Regresi Linear (Model Fox)
Pada grafik MSY dari tahun 2003 sampai dengan 2007
diketahui bahwa terjadi Over Fishing pada tahun 2003. Hal ini
dapat dilihat pada grafik MSY yang menunjukkan pada tahun 2003 berada di
wilayah Over Fishing dan tahun
2004-2007 masih Under Fishing karena
terjadi peningkatan jumlah alat tangkap dan upaya penangkapan yang dapat
dilihat pada grafik upaya penangkapan.
Nur Arlia Yusnita 140302021
|
Gambar
10. Maximum Sustainable Yield (MSY)
Pendugaan
Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
Dari
hasil penelitian dan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa tingkat pemanfaatan
pada tahun 2003 adalah sebesar 1.256714% dengan
tingkat pengupayaan sebesar 0.271357%. pada tahun 2004 tingkat pemanfaatan
sebesar 0.687664% dan tingkat pengupayaan sebesar 0.186721%. pada tahun 2005
tingkat pemanfaatan sebesar 0.666033% dengan tingkat pengupayaan sebesar 0.188544%. pada tahun 2006 tingkat
pemanfaatan sebesar 0.847279% dengan tingkat pengupayaan sebesar 0.190367%.
pada tahun 2006 tingkat pemanfaatan sebesar 0.827908% dengan tingkat
pengupayaan sebesar 0.657038%.
Tabel 4. Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
Tahun
|
Produksi
|
Effort
|
F.opt
|
MSY
|
TPC
|
TPF
|
TAC
|
2003
|
1946.3
|
380,330
|
1401585
|
1548.722
|
1.256714
|
0.271357
|
1238.978
|
2004
|
1065
|
261,705
|
0.687664
|
0.186721
|
|||
2005
|
1031.5
|
264,260
|
0.666033
|
0.188544
|
|||
2006
|
1312.2
|
266,815
|
0.847279
|
0.190367
|
|||
2007
|
1282.2
|
920,895
|
0.827908
|
0.657038
|
Nur Arlia Yusnita 140302021
|
Gambar
11. Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
Pembahasan
Dari data yang diperoleh dari penelitian diatas, dapat
dilihat bahwa secara umum terjadi fluktuasi pada nilai produksi setiap
tahunnya. Dimulai dengan tahun 2003 dengan nilai sebesar 1946,3 kemudian turun
pada tahun 2004 sampai dengan 2005 dan kemudian kembali mengalami peningkatan
pada tahun 2006. Fluktuasi nilai produksi ini dapat diakibatkan oleh berbagai
faktor seperti meningkatnya jumlah unita alat tangkap dan juga upaya
penangkapan dan kemudian penurunannya diakibatkan oleh faktor ekonomi seperti
mahalnya harga bahan bakar minyak yang kemudian menjadi faktor pembatas bagi
nelayan yang hendak menangkap. Hal tersebut sesuai dengan Septifitri, dkk.
(2010) yang menjelaskan bahwa Peningkatan produksi disebabkan oleh
meningkatnya jumlah alat tangkap, sebanding dengan meningkatnya trip
penangkapan. Penurunan produksi adalah sebagai dampak kenaikan harga BBM yang
terjadi pada tahun 2005, sehingga ada sebahagian alat tangkap yang tidak
beroperasi.
Dari
data diatas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Potensi
lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan Selar (Selaroides
leptolepis) di kawasan Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir
sebesar 1.548,72 ton/tahun, sementara Effort
Optimum sebesar 1.401.585 ton/tahun artinya Effort yang dilakukan tidak melebihi batas Effort optimum maka akan menaikkan nilai produksi. Dapat dilihat
pada gambar yang menunjukkan grafik potensi lestari (MSY) bahwa nilai effort setiap tahunnya tidak ada yang
melampaui nilai taotal tangkapan yang diperbolehkan (TAC), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi over eksploitasi
pada data penangkapan di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir
tersebut. Metode surplus produksi sering digunakan untuk menentukan Jumlah
tangkapan yang diperbolehkan, sehingga hasil dari penelitian menggunakan metode
tersebut dapat disajikan kepada nelayan untuk mencegah tangkap lebih untuk
mempertahankan stok ikan lestari dala wilayah tertentu. Hal ini sesuai dengan
Purwaningsih, dkk. (2012) yang menjelaskan bahwa Lebih tangkap atau overfishing diartikan
sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang diperbolehkan untuk
mempertahankan stok ikan lestari dalam suatu wilayah laut tertentu.
Dari data diatas juga disimpulkan
bahwa tingkat pemanfaatan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
tingkat pengupayaan. Hal ini tentu akan berdampak pada tingkat eksploitasi
sumberdaya ikan yang akan berakibat pada over eksploitasi. Hal ini tentu harus
ditanggulangi dengan penyusunan berbagai strategi peningkatan upaya pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap. Misalnya dengan melakukan standarisasi alat
tangkap agar lebih ramah terhadap sumberdaya perikanan tangkap dan melakukan
penyuluhan kepada pelaku kegiatan perikanan tangkap untuk bersama-sama
mengelola sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap demi kelestarian
sumberdaya perikanan. Hal ini sesuai dengan Septifitri, dkk. (2010) yang
menjelaskan bahwa tingkat pemanfaatan per jenis ikan unggulan
menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan berkisar antara 58,42% - 66,77% Potensi
jenis ikan komoditi unggulan tersebut juga masih memungkinkan dimanfaatkan dan
dikembangkan dengan menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimum
dari sisi alat tangkap (jenis dan selektivitas) dan pengelolaan sumberdaya
tersebut. Sehingga dapat dimanfaatkan guna meningkatkan pendapatan nelayan dan
tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan.
Dengan
tingginya hasil perikanan yang dimiliki oleh provinsi Sumatera Selatan, perlu
dilakukan pengelolaan yang baik terhadap sumberdaya perikanan tersebut. Hal ini
agar salah satu dari tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyat dapat tereslisasi dengan sempurna. Hal tersebut sesuai
dengan Septifitri, dkk. (2009) yang menjelaskan bahwa Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi
Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan karena memiliki beberapa
keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan
sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan
(protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka
lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara. Luas
laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi
Sumatera Selatan kurang lebih 37.000 km2. Berdasarkan hasil kajian Komisi
Nasional Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) di laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar adalah 0,32
ton/km2, pelagis kecil 2,26 ton/km2, demersal 1,2 ton/km2, dan udang 0,18
ton/km2.
Pengelolaan
yang dilakukan oleh negara harus ditingkatkan dalam melakukan pengelolaan
sumberdaya perikanan yang ada di Sumatera Selatan. Pembatasan rezim open access juga perlu dilakukan, agar
tidak hanya kalangan menengah keatas saja yang dapat memanfaatkan sumberdaya
perikanan tersebut namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan pengelolaan yang baik oleh negara. Hal ini sesuai dengan Septifitri,
dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang
cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar
pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan
tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang
masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya
gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera
Selatan.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari laporan ini adalah:
1.
Jenis alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan Selar khususnya dalam penelitian ini adalah adalah payang, jaring insang hanyut, jaring
insang tetap, bagan tancap dan
pancing.
2.
Potensi lestari (MSY)
dari tahun 2003 sampai dengan 2007 diketahui bahwa terjadi Over Fishing pada tahun
2003. Hal ini dapat dilihat pada grafik MSY yang menunjukkan pada tahun 2003
berada di wilayah Over Fishing dan
tahun 2004-2007 masih Under Fishing karena
terjadi peningkatan jumlah alat tangkap dan upaya penangkapan yang dapat dilihat
pada grafik upaya penangkapan.
3.
Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC)
dari data diatas adalah sebesar 1238.978ton/tahun. Penetapan nilai TAC bertujuan untuk mengelola
sumberdaya perikanan agar tidak terjadi tangkap lebih (Over Exploitation).
Saran
Saran
yang dapat diberikan untuk penelitian ini adalah hendaknya pengelolaan dan
pemanfaatan dari sumberdaya ikan harus dilakukan dengan seimbang agar tidak
terjadi over eksploitasi dari sumberdaya perikanan. Untuk praktikan agar turut
andil dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dalam rangka melestrarikan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
bersama, bisa melalui kegiatan penyuluhan dan lain sebagainya.
Afriyanto, D. 2008. Analisis Finansial
Unit Penangkapan Payang Di Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten
Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aprilia, S. 2011. Trofik Level Hasil
Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap Yang di gunakan Nelayan Di Bojonegara,
Kabupaten Serang, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badrudin. 2013. Analisis Data Catch & Effort untuk Pendugaan MSY. Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Eddy, S. 2013. Inventarisasi dan
Identifikasi Jenis-Jenis Ikan saat Pasang Surut di Perairan Sungai Musi Kota
Palembang. Universitas PGRI Palembang, Palembang.
Efkipano, D.T. 2012. Analisis Ikan Hasil
Tangkapan Jaring Insang Milenium Dan Strategi Pengelolaannya Di Perairan
Kabupaten Cirebon. [Tesis]. Universitas Indonesia, Depok.
Febrianti, S., T. Efrizal dan A Zulfikar.
2005. Kajian Kondisi Ikan Selar berdasarkan Hubungan Panjang Berat dan Faktor
Kondisi di Laut Natuna yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan Pelantar KUD
Tanjung Pinang. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Pangkal Pinang.
Hakim, L. G., Asriyanto., A.D. P. Fitri.
2014. Analisis Selektivitas Payang Ampera
(Seine Net) Modifikasi Dengan
Window Permukaan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Daun Bambu (Chorinemus Sp.) Di Perairan Kabupaten Kendal. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Kurnia, M., M. Palo dan Jumsurizal. 2012.
Produktivitas Pancing Ulur untuk Penangkapan Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersoni) di Perairan
Pulau Tambelan Kepulauan Riau. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Kurnia., S. Purnaman dan T. Rizwan. 2016.
Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Utara Aceh. Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh.
Lubis, R. S., M. B. Mulya dan Dsrita. 2013.
Potensi, Tingkat Pemanfaatan dan Keberlanjutan Ikan Tembang (Sardinella spp.) di Perairan Selat
Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Murniati. 2011. Potensi dan Tingkat
Pemanfaatan Ikan Terbang (Exocoetidae)
di Perairan Majene, kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. [Skripsi].
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pasisingi, N.
2011. Model
Produksi Surplus Untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus Pelagicus)
Di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Pratiwi, M. 2010. Komposisi Hasil
Tangkapan Ikan Pelagis Pada Jaring Insang Hanyut Dengan Ukuran Mata Jaring 3,5
Dan 4 Inci Di Perairan Belitung Provinsi Bangka Belitung. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Purwaningsih, R., S. Widjaja dan S. G.
Pratiwi. 2012. Pengembangan Model Simulasi Kebijakan Pengelolaan Ikan
Berkelanjutan. Jurnal Teknik Industri, 14 (1): 25-34.
Rahmat, E. Dan A. Salim. 2013. Teknologi
Alat Penangkapan Ikan Pancing Ulur (Handline) Tuna di Perairan Laut
Sulawesi Berbasis Di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Balai Riset Perikanan Laut,
Jakarta.
Sapira., T. S. Raza’I dan A. Zulfikar. 2008.
Kajian Kondisi Ikan Selar Kuning berdasarkan Hubungan Panjang Berat dan Faktor
Kondisi di Pendaratan Ikan Dusimas Desa Malang Rapat. Universitas Maritim Raja
Ali Haji, Pangkal Pinang.
Septifitri., D. R. Moninja., S. H. Wisudo
dan S. Martasuganda. 2009. Analisis Kebutuhan Sarana Perikanan dalam Rangka
Pengembangan Perikanan Tangkap berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Saintek Perikanan, 5 (2): 8-13.
Septifitri., D. R. Moninja., S. H. Wisudo
dan S. Martasuganda. 2010. Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi
Sumatera Selatan. Jurnal Saintek Perikanan, 6 (1): 8-21.
Suciati, L. 2014. Kajian Stok Sumberdaya
Ikan Selar Kuning di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuanbanten.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudirman., Najamuddin dan M. Palo. 2013. Efektivitas
Penggunaan Berbagai Jenis Lampu Listrikuntuk Menarik Perhatian Ikan Pelagis
Kecil Pada Bagan Tancap. Jurnal Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Triarso, I. 2012. Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Pantura Jawa Tengah. Jurnal Saintek
Perikanan. 8 (1): 66-75.
Wijayanti, A. T. 2009. Kajian Penyaringan
dan Lama Penyimpanan dalam Pembuata Fish
Peptone dari Ikan Selar Kuning. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yusron, M. 2005. Analisis Potensi dan
Tingkat Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kepulauan Samataha dan
sekitarnya. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.