Kamis, 15 Desember 2016

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN TANGKAP IKAN SELAR (Selaroides leptolepis) DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

PENDAHULUAN
Latar belakang
            Sumber daya ikan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat pulih  (renewable  resoursces)  sehingga  apabila  dikelola  dengan  baik  dapat memberikan hasil maksimum berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dan pendapatan  negara.  Pengelolaan  perikanan  selain  setelah  memberikan keuntungan,  juga  meninggalkan  berbagai  permasalahan,  seperti  kelebihan penangkapan  (overfishing)  dan  kerusakan  habitat  (Habitat  destruction). Interaksi  kelebihan  penangkapan  dan  kerusakan  habitat  telah memberikan dampak  terhadap  penurunan  produksi  perikanan  dunia.  Resiko  ancaman kelestarian  ikan  laut telah  menjadi suatu masalah dan beberapa spesies didokumentasikan mulai terancam (Murniati, 2011).
            Sektor perikanan memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional. Sektor perikanan juga menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, distribusi dan perdagangan. Oleh karena itu, pembangunan sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Dengan telah menipisnya potensi lestari sumberdaya ikan di perairan pantai, maka hasil tangkap nelayan menjadi semakin rendah sehingga pendapatan merekapun dapat dikatakan jauh dari cukup untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh sebab itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sudah saatnya dilakukan rasionalisasi dan menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan armada perikanan tangkap yang mampu beroperasi di lepas pantai sehingga nantinya tidak saja kelestarian sumberdaya ikan akan lebih terjaga, tetapi keberlangsungan usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh banyak nelayan juga lebih terjamin (Triarso, 2012).
            Lebih tangkap atau overfishing diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang diperbolehkan untuk mempertahankan stok ikan lestari dalam suatu wilayah laut tertentu. Salah satu penyebab kondisi di atas adalah adanya tekanan terhadap eksploitasi perikanan laut (fishing pressure). Dua hal yang diakui sebagai tekanan terhadap eksploitasi perikanan adalah pertumbuhan populasi dunia dan target pembangunan untuk mencapai pendapatan yang tinggi dari sektor perikanan. Kondisi ini diperburuk dengan sifat kepemilikan sumber daya perikanan sebagai common property, lemahnya pengawasan akan pembatasan kapal ikan dan illegal fishing. overexploited mengakibatkan waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi penangkapan lebih jauh, produktivitas (hasil tangkap per satuan upaya atau Catch per unit effort (CPUE) menurun, dan biaya penangkapan yang menjadi besar sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan nelayan. Hal-hal di atas adalah indikasi terjadinya overfishing (Purwaningsih, dkk., 2012).
            Provinsi Sumatera Selatan mempunyai perairan umum yang cukup luas sekitar 2.518.644 ha meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan perairan tergenang lainnya baik yang alami maupun yang buatan. Sungai Musi merupakan salah satu perairan umum di Sumatera Selatan yang menjadi muara puluhan sungai besar dan kecil lainnya, baik di Bengkulu maupun Sumatera Selatan. Dari sumber-sumber air itulah di antaranya air Sungai Musi berasal dan mengalir hingga sejauh 720 kilometer. Mata airnya berada di bagian hulu di daerah Bukit Barisan di Desa Teberena dan bermuara ke laut di Selat Bangka. Sungai Musi terletak antara 2-4° Lintang Selatan dan antara 102-105° Bujur Timur (Eddy, 2013).
            Ikan selar kuning merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis penting. Populasi ikan selar kuning dikhawatirkan akan menurun akibat penangkapan yang dilakukan secara terus menerus. Laju eksploitasi ikan selar kuning melebihi laju eksploitasi optimum sehingga ikan selar kuning diperairan Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Pengelolaan ikan selar kuning sebaiknya melalui pengaturan upaya penangkapan dan pengaturan ukuran mata jaring yang dipakai lebih dari 6 cm (Suciati, 2014).

Tujuan Praktikum
            Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan     selar (Selaroides leptolepis).
2.    Untuk mengetahui jumlah potensi maksimum lestari (MSY) dari ikan Selar        (Selaroides leptolepis).
3.    Untuk mengetahui Total tangkapan yang dibolehkan (TAC) dari ikan Selar di    perairan Sumatera Selatan
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai syarat masuk dan syarat mengikuti Praktikal Test Laboratorium Dinamika Populasi Ikan dan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan referensi terkait Ikan Selar (Selaroides leptolepis).

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Sumberdaya Ikan di Perairan Sumatera Selatan
            Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera Selatan. Meskipun demikian, pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini masih dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi unggulan daerah dan kebijakan perikanan yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Beragamnya jenis sumberdaya ikan yang ada di perairan Sumatera Selatan hendaknya disikapi dengan bijak dan hati-hati. Jenis spesies tertentu mulai mengalami penurunan produksi karena penangkapan intensif, namun spesies lain memiliki peluang pengembangan yang sangat besar. Oleh karena itu maka pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan harus segera dilaksanakan (Septifitri, dkk., 2009).
            Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan karena memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara. Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepatnya serta mengantisipasi perubahan eksternal dan internal, maka Visi pembangunan kelautan dan perikanan di Sumatera Selatan adalah sumberdaya kelautan dan perikanan beserta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya merupakan sumber penghidupan dan pembangunan ekonomi dan sosial budaya yang harus dikelola secara berkelanjutan, guna meningkatkan pendapatan nelayan. Luas laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan kurang lebih 37.000 km2. Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar adalah 0,32 ton/km2, pelagis kecil 2,26 ton/km2, demersal 1,2 ton/km2, dan udang 0,18 ton/km2. Sehingga total potensi yang ada di wilayah pengelolaan tersebut adalah 146.520 ton dengan pembagian ikan pelagis besar sebanyak 11.840 ton, pelagis kecil 83.620 ton, ikan demersal 44.400 ton dan udang 6.660 ton. Berdasarkan hasil tersebut, maka pemanfaatan sumberdaya ikan laut di WPP tersebut oleh Provinsi Sumatera Selatan baru sekitar 33,95 % dari potensi yang ada (Septifitri, dkk., 2010)

Klasifikasi dan Ciri-Ciri Morfologi Ikan Selar (Selaroides leptolepis)
            Ikan Selar adalah salah satu jenis ikan pelagis kecil (ikan permukaan) yang hidup pada laut dalam kawasan tertentu. Ikan ini banyak tertangkap di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m dan merupakan salah satu ikan yang banyak diminati masyarakat. Permintaan yang banyak dan harga yang cukup tinggi akan mendorong peningkatan penangkapan pada ikan ini.  Laut Natuna merupakan salah satu wilayah penangkapan ikan selar di Tanjungpinang. Studi potensi sumberdaya perikanan dan kelautan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2006-2011 menyatakan potensi untuk ikan selar sebesar 1.288 ton/tahun (22 % dari total tangkapan pelagis kecil) (Febrianti, dkk., 2005).
                Menurut Wijayanti (2009), Ikan selar kuning termasuk ke dalam golongan ikan pelagis kecil. Nama Internasional dari ikan selar kuning adalah Yellowstripe scad. Klasifikasi ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) adalah sebagai berikut:
Kingdom          : Animalia
Filum               : Chordata
Kelas               : Pisces
Ordo                : Percomorphi
Famili              : Carangidae
Genus              : Selaroides
Spesies             : Selaroides leptolepis
            Karakteristik:  badan  agak  pipih  (vertikal)  dan  memanjang.  Mata  besar  (dibanding  pada  ikan Layang),  sirip  dada  panjang  dan  meruncing seperti  bulan  sabit  dan  pada  sisi  badan  terdapat  garis berwarna  kuning  dari belakang  kepala  sampai  ekor.  Pada  tutup  insang  terdapat  noda  berwarna hitam,  gurat  sisi  menjadi  scute  pada  ekor  dan  terdapat  dua  duri  keras  di depan  sirip  dubur. Punggung  berwarna  biru  kehijauan,  sedangkan  bagian perut  berwarna  putih  keperakan.  Spesies yang paling umum ditemukan di perairan Indonesia adalah:  Selaroides  Leptolepis,  Selar boops  dan Selar Crumenophthalmus. Nama  lokal: Pelata Kuning, Pelata Sanui, Selar Kuning, Angora, Jalu-Jalu, Lolong Jalur (Sapira, dkk., 2008).
            Warna tubuh ikan memiliki daya tarik tersendiri,bagian atas berwarna  biru metalik, sedangkan bagian bawah berwarna  putih keperakan.   Terdapat garis kuning yang memanjang dari belakang mata sampai caudal peducle dengan titik hitamyang mencolok pada belakang operculum. Sirip dorsal, anal, dan kaudal berwarna pucat sampai kekuningan, serta sirip pelvic yang umumnya berwarna putih (Wijayanti, 2009).
Gambar 1. Ikan selar (Selaroides leptolepis)

Distribusi Ikan Selar (Selaroides leptolepis)
Sebaran  ikan  selar tersebar di Perairan Leupung yang memiliki  jumlah  hasil tangkapan mencapai 0-20 kg. Pada  Perairan  Samudra  Hindia,  Perairan  Pulau  Breuh,  Perairan Pulau Nasi, Perairan Krueng Raya memiliki  jumlah  hasil  tangkapan  mencapai  20-100  kg. Pada  Teluk Benggala memiliki jumlah  hasil  tangkapan  mencapi  100-170  kg. Pada  wilayah  sekitaran Perairan  Pulau  Weh memiliki  jumlah  hasil tangkapan  mencapai  270-400  kg  dan  pada bagian selatan Pulau Weh memiliki jumlah hasil tangkapan mencapai 400-600 kg dan memiliki daerah sebaran ikan (Kurnia, dkk., 2016).
Daerah distribusi ikan selar meliputi Sumatera (Teluk Betung, Tarusan dan Sibolga), Palu, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi (Makasar, Bulu kumba dan Manado), Laut Banda, Gisser, Kei Island-Red Sea, Zanzibar, Natal Coust, Madagaskar, Bourhan,  South Arabia, India,  Solomon Island, San Wich Island, Admirality Island– Circumtropical (Wijayanti, 2009).
Alat Tangkap Ikan Selar
Payang          
Penggunaan alat tangkap payang atau nelayan setempat biasa menyebutnya sebagai payang ampera sebagai  bahan  penelitian,  dikarenakan  alat  tangkap  payang mempunyai  konstruksi kantong yang berbahan waring yang tentunya tidak memberi kesempatan ikan-ikan yang muda untuk tumbuh dan  berkembang,  bertambah  nilai  ekonominya  serta  kemungkinan  berproduktif  sebelum  ikan  tersebut tertangkap. Dengan percobaan penambahan  window  diharapkan dapat meloloskan ikan berukuran kecil dari dalam kantong dan menghitung selektivitas alat tangkap modifikasi tersebut (Hakim, dkk., 2014).
Payang adalah pukat kantong  lingkar  yang secara garis  besar terdiri dari  bagian kantong, badan/perut dan kaki/sayap. Payang  mempunyai  bagian atas mulut jaring  yang  menonjol ke belakang.   Hal  ini  dikarenakan  payang  tersebut  umumnya  digunakan  untuk menangkap  jenis-jenis  ikan  pelagis  yang  biasanya  hidup  di  bagian  atas  air  dan mempunyai  sifat  cenderung  lari  ke lapisan  bawah  bila  telah  terkurung  jaring. Payang  mempunyai  bagian  bawah mulut  jaring  lebih  menonjol  ke  depan  maka kesempatan lolos menjadi terhalang dan akhirnya masuk ke dalam kantong jaring. Pada  bagian  bawah kaki/sayap  dan  mulut  jaring  diberi  pemberat,  sedangkan bagian  atas  pada jarak  tertentu  diberi  pelampung.   Pelampung  yang  berukuran paling  besar ditempatkan di  bagian tengah dari  mulut  jaring. Pada kedua ujung depan kaki/sayap  disambung  dengan  tali  panjang  yang  umumnya  disebut  tali selambar  (Aprilia 2011).
Payang termasuk ke dalam pukat kantong (seine net) yang pengoperasiannya masih terbatas di wilayah sekitar pantai dengan menggunakan perahu atau pun dilengkapi dengan motor tempel dalam ukuran yang relatif kecil. Payang termasuk dalam kelompok besar “seine net” yaitu alat tangkap yang memiliki wrap penarik yang sangat panjangn dengan cara melingkari area atau wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya  ke pantai/kapal. Seine net  terdiri dari kantong dan dua buah sayap panjang dan tali penarik disertai pelampung dan pemberat. Alat ini sesuai perkembangan dimodifikasi disesuaikan dengan daerah penangkapan dan spesies ikan yang ditangkap (Afriyanto, 2008).
Gambar 2. Payang

Jaring Insang Hanyut
Gill net sering diterjemahkan dengan sebutan jaring insang , jaring rahang dan lain-lain. Istilah gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap terjerat di sekitar operkulumnya pada mata jaring. Dalam bahasa Jepang, gill net disebut dengan istilah “sasi-ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa ikan ikan tersebut “menusukkan diri -sasi” pada “jaring-ami”. Di Indonesia, penamaan gill net ini beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring kuro, jaring udang, dan sebagainya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang Bayeman), dan sebagainya (Efkipano, 2012).
jaring  insang  hanyut  adalah  jaring  insang yang cara pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian  permukaan,  kolom  perairan  atau  di  dasar  perairan.  Jaring  insang  hanyut biasanya  terbuat  dari  bahan  nylon  multifilament  berwarna  biru  gelap.  Hal  ini bertujuan  agar  bahan  jaring  yang  tidak  kaku  (lembut)  dan  warna  jaring  yang kontras dengan warna perairan lebih mudah untuk ikan terjerat atau terpuntal pada badan jaring   (Pratiwi, 2010).
Gambar 3. Gillnet (Jaring Insang hanyut)
           
Jaring Insang Tetap
Jaring insang adalah kelompok jenis alat penangkapan ikan berupa jaring
yang berbentuk empat persegi panjang dilengkapi dengan pelampung, pemberat,
tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah untuk menghadang ikan sehingga ikan tertangkap dengan cara terjerat dan/atau terpuntal dioperasikan di permukaan, pertengahan, dan dasar secara menetap, hanyut, dan melingkar dengan tujuan menangkap ikan pelagis dan demersal, dengan nomor SNI 7277.8:2008. Berdasarkan kedudukannya pada waktu dilabuhkan atau dipasang dapat dibedakan menjadi jaring insang hanyut (drift gill net) yaitu jaring insang yang pengoperasiannya dihanyutkan dalam perairan; jaring insang tetap (set gill net) yaitu jaring insang yang pengoperasiannya diposisikan atau dipasang menetap dalam waktu tertentu dengan menggunakan pemberat/jangkar dalam perairan (Efkipano, 2012).
          Dilihat dari cara pengoperasiannya alat tangkap ini dapat dihanyutkan (drift gill net), dilabuhkan (set gill net) dan dilingkarkan (encircling gill net). Ikan yang tertangkap  biasanya  karena terjerat (gilled) pada bagian belakang lubang penutup insang (opecalum), terbelit/terpuntal (entagled) pada mata jaring yang terdiri dari satu lapis, dua lapis maupun tiga lapis. Jaring  insang dioperasikan dengan tujuan  menghadang ruaya gerombolan ikan.   Pada  umumnya  ikan-ikan  yang  menjadi  tujuan  penangkapan  adalah  jenis ikan  yang  baik  horizontal  migration   maupun  vertical  migration-nya  tidak seberapa aktif, dengan perkataan lain migrasi dari ikan-ikan tersebut terbatas pada sutu depth/layer tertentu di perairan (Aprilia, 2008).
Gambar 4. Jaring Insang Tetap


Bagan Tancap
Bagan sebagai salah satu alat tangkap yang menggunakan cahaya banyak digunakan oleh para nelayan di wilayah pesisir untuk menangkap ikan karena mempunyai beberapa keunggulan.Keunggulan tersebut antara lain: (1) Secara teknis mudah dilakukan (khususnya bagan tancap); (2)investasinya terjangkau oleh oleh masyarakat; (3) merupakan perikanan rakyat yang telah digunakan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sekitar pulaupulau kecil secara turun-temurun; (4) tangkapannyaselalu ada walaupun terkadang jumlahnya sedikit; (5)menyerap banyak tenaga kerja; (6) teknologinya sangat sederhana (Sudirman, 2013).

Gambar 5. Bagan Tancap

Pancing Ulur
            Penggulung tali pancing ulur yang digunakan berbentuk bundar yang terbuat dari plastik dan kayu. penggulung tali pancing pada umumnya terbuat dari kayu atau plastik dan ukuran penggulung tersebut disesuaikan dengan panjangnya tali pancing. Penggunaan penggulungan tali pancing bertujuan untuk memudahkan proses pengoperasian alat tangkap yaitu agar tali tidak kusut dan dapat digulung setelah operasi penangkapan selesai kemudian disimpan untuk digunakan kembali pada saat pengoperasian berikutnya. Tali penarik yang digunakan bernomor 60 dengan panjang 100-150 meter. Bahan terbuat dari Monofilamen, yang biasa disebut tasi oleh nelayan di sekitar  pulau Tambelan (Kurnia, dkk., 2012).
            Proses pengoperasian pancing ulur tuna yang dipraktekkan oleh nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah sebgai berikut: setelah armada mencapai rumpon di daerah penangkapan, maka nelayan terlebih dahulu akan memancing ikan umpan dengan menggunakan pancing ulur dengan ukuran mata pancing kecil. Pancing ulur untuk menangkap ikan umpan biasa disebut sebagai pancing bira-bira. Jenis mata pancing yang digunakan adalah jenis mata pancing berkait balik nomor 12. Ada beberapa jenis ikan umpan yang biasa digunakan yaitu ikan layang, juwana cakalang, juwana tuna dan jenis ikan tongkol. Setelah mendapatkan ikan umpan penangkapan ikan tuna dilakukan dengan menggunakan pancing ulur khusus untuk tuna dengan ukuran tali dan mata pancing besar. Spesifikasi pancing ulur tuna. Pancing ulur tuna dioperasikan pada siang hari yaitu mulai pagi hingga sore hari (Rahmat dan Salim, 2013).
Gambar 6. Pancing Ulur


Metode Surplus Produksi
            Model MPS dibangun dengan asumsi bahwa sumberdaya ikan berada pada ‘steady state or equilibrium condition’ dan ‘constant catchability’. Dalam kenyataannya kondisi equilibrium tersebut sangat jarang terjadi. Dari pengalaman di Negara dimana konsep ini berasal adalah bahwa konsep ini menghasilkan estimasi yang terlalu tinggi, sehingga dalam aplikasinya harus benar-benar menerapkan ‘precautionary approach’.. Dari tabel Produksi jenis ikan per-jenis alat tangkap dapat dihitung hasil tangkapan per-unit alat (C/A) untuk tahun tertentu. Alat tangkap yang mempunyai angka C/A yang tertinggi dinyatakan sebagai alat tangkap standar, dimana nilai FPI = 1,00. Nilai FPI alat tangkap lainnya dikonversi ke nilai FPI yang tertinggi tersebut. Menurut model Schaefer:C/f =a – bf  C = af - bf 2. Pada titik effort maksimum (Fmax), maka hasil tangkapan akan menjadi Nol. C = af – bf 2 = 0; Jika demikian pada titik tersebut a = bf; atau f = a/b. Pada Catch maksimum (MSY), maka tingkat effort (Fopt) berada pada setengah tingkat effort maksimum (1/2 . a/b = a/2b) dari data (Badrudin, 2013).
            Model produksi surplus dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan rajungan di perairan Teluk Banten. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan secara runut waktu (time series) yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model yang diterapkan dalam perikanan mungkin berbeda untuk ikan yang berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang berbeda belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan jenis ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok diterapkan mungkin saja berbeda. Model yang paling sederhana dalam dinamika populasi ikan adalah model produksi surplus. Model ini memperlakukan ikan sebagai biomasa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan sederhana, kenaikan dan penurunan biomasa. Model-model produksi surplus mengabaikan proses biologi dalam suatu stok ikan dengan mengasumsikan bahwa stok tersebut dapat diperlakukan sebagai biomasa agregat. Bila semua faktor lain tetap konstan, biomasa agregat dari suatu stok ikan akan menurun ketika tekanan dilakukan terhadap sumberdaya tersebut melalui kenaikan upaya penagkapan (Pasisingi, 2011).

Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan Ikan Selar
            Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya perikanan yang keberadaannya berada pada lapisan permukaan. Dimana terdiri dari banyak spesies dan ukuran yang badannya relative tetap kecil walaupun ssudah dewasa. Beberapa jenis yang termasuk dalam kelompok pelagis kecil adalah: teri, selar, tembang, siro, lemuru, laying, kembung, bawal putih, alu-alu, tetengek, sunglir, ikan terbang, belanak, julung-julung, golokgolok dan ekor kuning.  Pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan didasarkan pada suatu konsepsi hasil maksimum yang menjamin usaha dapat berkelanjutan. (Maximum Sustainable Yield) dengan maksud untuk dapat memperoleh keuntungan optimum, baik untuk masyarakat nelayan maupun bagi pengelola (poemerintah) pada saat ini atau saat yang akan datang (Yusron, 2005).
            Persamaan dari tingkat pemanfaatan adalah TPC = Ci / MSY x 100%. Dengan keterangan TPC (Tingkat Pemanfaatan tahun ke-I %), Ci (hasil tangkapan ikan pada tahun ke-I ton), MSY (Maximum Sustainable Yield Ton). Persamaan dari pendugaan tingkat pengupayaan adalah TPf = f.s / f.opt x 100%. Dengan keterangan TPf (tingkat pengupayaan pada tahun ke-i), fs (upaya penangkapan / Effort pada tahun ke I trip), f.opt (upaya penangkapan optimum pada tahun ke-I ton/tahun). Sementara jumlah tangkapan yang dibolehkan dapat dicari dengan rumus TAC= 80% x MSY. Analisis status keberlanjutan ikan pada tiap atribut dari dimensi ekologi, ekonomi, social, ekologi, didasarkan pada instrumnent skala Likert (Lubis, dkk., 2013).

Rekomendasi Pengelolaan
            Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum bisa dilakukan dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan, yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, produk domestik bruto, devisa negara, pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa menganggu dan merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Beberapa permasalahan yang harus diperhatikan saat ini di Provinsi Sumatera Selatan dengan kondisi wilayah yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, namun pemanfaatan dari potensi ini belum optimal yaitu informasi sumberdaya yang ada di sekitar wilayah pengelolaan Provinsi Sumatera Selatan yang belum optimal, informasi tentang teknologi yang efektif dan efisien, terjadinya persaingan areal penangkapan antara alat tangkap aktif dan pasif, pengawasan dan penegakan hukum belum dilaksanakan secara efektif, prasarana pelabuhan belum memadai (Septifitri, dkk.,2010).
METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
            Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Juli 2006 di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
            Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera Selatan. Meskipun demikian, pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini masih dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi unggulan daerah dan kebijakan perikanan yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab.

Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis dan juga alat dokumentasi serta perangkat lunak (Microsoft Excel) yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara wawancara dan pengumpulan data perikanan dari berbagai lembaga terkait.
            Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder berupa hasil wawancara dan data-data lain  yang diperoleh dari lembaga terkait seperti lembaga pemerintah, lembaga swasta dan karya tulis seperti pustaka dan laporan-laporan lainnya.

Metode Praktikum
Metode Surplus Produksi
            Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model Schaefer yang memiliki nilai R2 yang mendekati 1.
Produksi Per Alat Tangkap Ikan Per Tahun



CPi =[  x Ci

Keterangan
CPi:     Produksi per alat tangkap pertahun (ton/tahun)
∑Fi:     Jumlah Total alat tangkap yang menangkap jenis ikan tertentu
∑F:      Jumlah unit alat tangkap yang menangkap jenis ikan tertentu
Ci:       Total Produksi pada tahun ke-i

Estimasi Effort
                                                    Jumlah Trip = N x P

Keterangan
N:        Jumlah Unit Penangkapan (∑F)
P:         Rata-rata banyaknya trip

Hasil Tangkapan / Upaya Penangkapan (CPUE)



                                                            CPUE =
Keterangan
CPUE: Catch pe Unit Effort
Ci:       Hasil Tangkapan pada tahun ke-i
Fi:        Upaya penangkapan pada tahun ke i (Jumlah Trip)

Standarisasi Effort
CPUEr =
CPUEs =



FPIi =




E = ∑FPI x Effort
Keterangan
r           : 1, 2, 3… (Alat tangkap yang akan distandarisasi)
s           : 1, 2, 3… (Alat tangkap standar)
i           : 1, 2, 3… (Jenis alat tangkap)
CPUEr : Total hasil tangkapan (Catch) per upaya tangkap (Effort) dari alat               tangkap yang akan distandarisasi (ton/trip)
CPUEr : Total hasil tangkapan (Catch) per upaya tangkap (Effort) dari alat               tangkap yang dijadikan standar (ton/trip)
FPI      : Alat tangkap yang distandarisasi yang dijadikan standar

Pendugaan Potensi Lestari dan Effort Optimum
Model Schaefer
                                     C = af + b(f)2……………



CPUE = a + b(f)……………



F.Opt =



MSY =

Model Fox
C = f exp (a + b (f))……….



F.Opt =



MSY = -(1/b) exp a-1

Keterangan
C         : Jumlah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (ton/trip)
a          : Intercept
b          : Slope
f           : Upaya penangkapan (trip) pada periode ke-i
F.opt    : Upaya penangkapan optimal (trip)
MSY   : Nilai potensi maksimal lestari

Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan



                                                TPc =  x 100%



TPf =  x 100%



TAC = 80% x MSY

Keterangan
TPc      : Tingkat pemanfaatan pada tahun ke-i
Ci        : Hasil Tangkapan ikan pada tahun ke-i
TPf      : Tingkat pengupayaan pada tahun ke-i (%)
Fs        : Effort standar pada tahun ke-I (trip)
F.Opt   : Upaya penangkapan optimum (ton/tahun)


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil Tangkapan
            Berdasarkan jumlah produksi ikan selar, tahun 2003 merupakan tahun yang memiliki jumlah produksi terbanyak yaitu sebesar 1946,3 ton, disusul oleh tahun 2006 sebesar 1312,2 ton, kemudian tahun 2007 sebesar 1282,2 ton, kemudian tahun 2005 sebesar 1031,5 ton dan yang terkecil adalah tahun 2004 sebesar 1065 ton.
Tabel 1. Produksi Tahunan
Tahun
Ci (ton)
Alat Tangkap
∑ Fi
Jumlah Total


Payang
Jaring Insang Hanyut
Jaring Insang Tetap
Bagan Tancap
Pancing
2003
1946.3
179
408
852
648
1042
5
3134
2004
1065
179
422
854
717
1064
5
3241
2005
1031.5
208
434
822
744
1186
5
3399
2006
1312.2
236
446
789
731
1308
5
3515
2007
1282.2
258
480
696
760
1222
5
3421


Nur Arlia Yusnita 140302021


Gambar 7. Grafik Produksi Tahunan


Upaya Penangkapan
            Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa upaya penangkapan tahunan yang nilainya paling rendah dihasilkan oleh alat tangkap pancing pada tahun 2005 yaitu 434,865 ton/tahun, kemudian pada tahun 2004 sebanyak 500,470 ton/tahun, tahun 2006  501,606 ton/tahun, 2007 534,632 ton/tahun dan tahun 2003 933,925 ton/tahun. Upaya penangkapan tertinggi dihasilkan oleh alat tangkap payang pada tahun 2003 sebanyak 5.436, 592 ton/tahun, 2004 sebanyak 2.974,860 ton/tahun, 2006 2.780,085 ton/tahun, 2007 sebanyak 2.484,884 ton/tahun dan 2005 sebanyak 2.479,567 ton/tahun.

Tabel 2. Upaya Penangkapan
Tahun
Ci
Upaya Penangkapan (ton/tahun)
Payang
Jaring Insang Hanyut
Jaring Insang Tetap
Bagan Tancap
Pancing
2003
1946,3
5,436.592
2,385.172
1,142.195
1,501.775
933.925
2004
1065
2,974.860
1,261.848
623.536
742.678
500.470
2005
1031,5
2,479.567
1,188.364
627.433
693.212
434.865
2006
1312,2
2,780.085
1,471.076
831.559
897.538
501.606
2007
1282,2
2,484.884
1,335.625
921.121
843.553
524.632


Gambar 8. Grafik Upaya Penangkapan

Pendugaan Potensi Lestari dan Effort Optimum
            Potensi lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan Selar (Selaroides leptolepis) di kawasan Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebesar 1.548,72 ton/tahun, sementara Effort Optimum sebesar 1.401.585 ton/tahun artinya Effort yang dilakukan tidak melebihi batas Effort optimum maka akan menaikkan nilai produksi. Dapat dilihat pada gambar 9 yang menunjukkan grafik potensi lestari (MSY) bahwa nilai effort setiap tahunnya tidak ada yang melampaui nilai effort optimum, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi over eksploitasi pada data penangkapan di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir tersebut.
Tabel 3. Pendugaaan Potensi Lestari (MSY) dan Effort optimum
Tahun
Produksi
Effort
CPUE
ln CPUE
Model Fox
MSY
a
b
f.opt
2003
1946.3
380,330
0.005117
-5.27511
-4,9098
-17515e-06
1401585
1548,72
2004
1065
261,705
0.004069
-5.50424
2005
1031.5
264,260
0.003903
-5.54592
2006
1312.2
266,815
0.004918
-5.31485
2007
1282.2
920,895
0.001392
-6.57677


Nur Arlia Yusnita 140302021


Gambar 9. Regresi Linear (Model Fox)


            Pada grafik MSY dari tahun 2003 sampai dengan 2007 diketahui bahwa terjadi  Over Fishing pada tahun 2003. Hal ini dapat dilihat pada grafik MSY yang menunjukkan pada tahun 2003 berada di wilayah Over Fishing dan tahun 2004-2007 masih Under Fishing karena terjadi peningkatan jumlah alat tangkap dan upaya penangkapan yang dapat dilihat pada grafik upaya penangkapan.  

Nur Arlia Yusnita 140302021


Gambar 10. Maximum Sustainable Yield (MSY)

Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
            Dari hasil penelitian dan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 adalah sebesar 1.256714% dengan tingkat pengupayaan sebesar 0.271357%. pada tahun 2004 tingkat pemanfaatan sebesar 0.687664% dan tingkat pengupayaan sebesar 0.186721%. pada tahun 2005 tingkat pemanfaatan sebesar 0.666033% dengan tingkat pengupayaan  sebesar 0.188544%. pada tahun 2006 tingkat pemanfaatan sebesar 0.847279% dengan tingkat pengupayaan sebesar 0.190367%. pada tahun 2006 tingkat pemanfaatan sebesar 0.827908% dengan tingkat pengupayaan sebesar 0.657038%.


Tabel 4. Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
Tahun
Produksi
Effort
F.opt
MSY
TPC
TPF
TAC
2003
1946.3
380,330
1401585
1548.722
1.256714
0.271357
1238.978
2004
1065
261,705
0.687664
0.186721
2005
1031.5
264,260
0.666033
0.188544
2006
1312.2
266,815
0.847279
0.190367
2007
1282.2
920,895
0.827908
0.657038



Nur Arlia Yusnita 140302021


Gambar 11. Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan

Pembahasan 
            Dari data yang diperoleh dari penelitian diatas, dapat dilihat bahwa secara umum terjadi fluktuasi pada nilai produksi setiap tahunnya. Dimulai dengan tahun 2003 dengan nilai sebesar 1946,3 kemudian turun pada tahun 2004 sampai dengan 2005 dan kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun 2006. Fluktuasi nilai produksi ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor seperti meningkatnya jumlah unita alat tangkap dan juga upaya penangkapan dan kemudian penurunannya diakibatkan oleh faktor ekonomi seperti mahalnya harga bahan bakar minyak yang kemudian menjadi faktor pembatas bagi nelayan yang hendak menangkap. Hal tersebut sesuai dengan Septifitri, dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa Peningkatan produksi disebabkan oleh meningkatnya jumlah alat tangkap, sebanding dengan meningkatnya trip penangkapan. Penurunan produksi adalah sebagai dampak kenaikan harga BBM yang terjadi pada tahun 2005, sehingga ada sebahagian alat tangkap yang tidak beroperasi.
            Dari data diatas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Potensi lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan Selar (Selaroides leptolepis) di kawasan Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebesar 1.548,72 ton/tahun, sementara Effort Optimum sebesar 1.401.585 ton/tahun artinya Effort yang dilakukan tidak melebihi batas Effort optimum maka akan menaikkan nilai produksi. Dapat dilihat pada gambar yang menunjukkan grafik potensi lestari (MSY) bahwa nilai effort setiap tahunnya tidak ada yang melampaui nilai taotal tangkapan yang diperbolehkan (TAC), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi over eksploitasi pada data penangkapan di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir tersebut. Metode surplus produksi sering digunakan untuk menentukan Jumlah tangkapan yang diperbolehkan, sehingga hasil dari penelitian menggunakan metode tersebut dapat disajikan kepada nelayan untuk mencegah tangkap lebih untuk mempertahankan stok ikan lestari dala wilayah tertentu. Hal ini sesuai dengan Purwaningsih, dkk. (2012) yang menjelaskan bahwa Lebih tangkap atau overfishing diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang diperbolehkan untuk mempertahankan stok ikan lestari dalam suatu wilayah laut tertentu.
            Dari data diatas juga disimpulkan bahwa tingkat pemanfaatan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tingkat pengupayaan. Hal ini tentu akan berdampak pada tingkat eksploitasi sumberdaya ikan yang akan berakibat pada over eksploitasi. Hal ini tentu harus ditanggulangi dengan penyusunan berbagai strategi peningkatan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Misalnya dengan melakukan standarisasi alat tangkap agar lebih ramah terhadap sumberdaya perikanan tangkap dan melakukan penyuluhan kepada pelaku kegiatan perikanan tangkap untuk bersama-sama mengelola sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap demi kelestarian sumberdaya perikanan. Hal ini sesuai dengan Septifitri, dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa tingkat pemanfaatan per jenis ikan unggulan menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan berkisar antara 58,42% - 66,77% Potensi jenis ikan komoditi unggulan tersebut juga masih memungkinkan dimanfaatkan dan dikembangkan dengan menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimum dari sisi alat tangkap (jenis dan selektivitas) dan pengelolaan sumberdaya tersebut. Sehingga dapat dimanfaatkan guna meningkatkan pendapatan nelayan dan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan.
            Dengan tingginya hasil perikanan yang dimiliki oleh provinsi Sumatera Selatan, perlu dilakukan pengelolaan yang baik terhadap sumberdaya perikanan tersebut. Hal ini agar salah satu dari tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat tereslisasi dengan sempurna. Hal tersebut sesuai dengan Septifitri, dkk. (2009) yang menjelaskan bahwa Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan karena memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara. Luas laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan kurang lebih 37.000 km2. Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar adalah 0,32 ton/km2, pelagis kecil 2,26 ton/km2, demersal 1,2 ton/km2, dan udang 0,18 ton/km2.
            Pengelolaan yang dilakukan oleh negara harus ditingkatkan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di Sumatera Selatan. Pembatasan rezim open access juga perlu dilakukan, agar tidak hanya kalangan menengah keatas saja yang dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dengan pengelolaan yang baik oleh negara. Hal ini sesuai dengan Septifitri, dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa Propinsi Sumatera Selatan memiliki wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar. Namun, tingginya intensitas penangkapan terutama dikawasan sekitar pantai memberikan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan kelestarian sumberdaya ikan. Sistem pengelolaan perikanan yang masih menganut rezim open access menjadi penyebab utama terjadinya gejala tangkap lebih (over fishing) di perairan Propinsi Sumatera Selatan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
            Kesimpulan dari laporan ini adalah:
1.    Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan Selar khususnya         dalam penelitian ini adalah  adalah payang, jaring insang hanyut, jaring insang     tetap, bagan tancap dan pancing.
2.    Potensi lestari (MSY) dari tahun 2003 sampai dengan 2007 diketahui bahwa terjadi  Over Fishing pada tahun 2003. Hal ini dapat dilihat pada grafik MSY yang menunjukkan pada tahun 2003 berada di wilayah Over Fishing dan tahun 2004-2007 masih Under Fishing karena terjadi peningkatan jumlah alat tangkap dan upaya penangkapan yang dapat dilihat pada grafik upaya penangkapan.  
3.    Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) dari data diatas adalah sebesar 1238.978ton/tahun. Penetapan nilai TAC bertujuan untuk mengelola sumberdaya perikanan agar tidak terjadi tangkap lebih (Over Exploitation).

Saran
            Saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini adalah hendaknya pengelolaan dan pemanfaatan dari sumberdaya ikan harus dilakukan dengan seimbang agar tidak terjadi over eksploitasi dari sumberdaya perikanan. Untuk praktikan agar turut andil dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dalam rangka melestrarikan  sumberdaya perikanan untuk kepentingan bersama, bisa melalui kegiatan penyuluhan dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Afriyanto, D. 2008. Analisis Finansial Unit Penangkapan Payang Di Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aprilia, S. 2011. Trofik Level Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap Yang di gunakan Nelayan Di Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badrudin. 2013. Analisis Data Catch & Effort untuk Pendugaan MSY. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Eddy, S. 2013. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis-Jenis Ikan saat Pasang Surut di Perairan Sungai Musi Kota Palembang. Universitas PGRI Palembang, Palembang.

Efkipano, D.T. 2012. Analisis Ikan Hasil Tangkapan Jaring Insang Milenium Dan Strategi Pengelolaannya Di Perairan Kabupaten Cirebon. [Tesis]. Universitas Indonesia, Depok.

Febrianti, S., T. Efrizal dan A Zulfikar. 2005. Kajian Kondisi Ikan Selar berdasarkan Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi di Laut Natuna yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan Pelantar KUD Tanjung Pinang. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Pangkal Pinang.

Hakim, L. G., Asriyanto., A.D. P. Fitri. 2014. Analisis Selektivitas Payang Ampera  (Seine Net) Modifikasi Dengan Window Permukaan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Daun Bambu (Chorinemus Sp.) Di Perairan Kabupaten Kendal. Universitas Diponegoro, Semarang.

Kurnia, M., M. Palo dan Jumsurizal. 2012. Produktivitas Pancing Ulur untuk Penangkapan Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersoni) di Perairan Pulau Tambelan Kepulauan Riau. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Kurnia., S. Purnaman dan T. Rizwan. 2016. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Utara Aceh. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Lubis, R. S., M. B. Mulya dan Dsrita. 2013. Potensi, Tingkat Pemanfaatan dan Keberlanjutan Ikan Tembang (Sardinella spp.) di Perairan Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Murniati. 2011. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Terbang (Exocoetidae) di Perairan Majene, kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Pasisingi, N. 2011.  Model Produksi Surplus Untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pratiwi, M. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Pada Jaring Insang Hanyut Dengan Ukuran Mata Jaring 3,5 Dan 4 Inci Di Perairan Belitung Provinsi Bangka Belitung. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purwaningsih, R., S. Widjaja dan S. G. Pratiwi. 2012. Pengembangan Model Simulasi Kebijakan Pengelolaan Ikan Berkelanjutan. Jurnal Teknik Industri, 14 (1): 25-34.

Rahmat, E. Dan A. Salim. 2013. Teknologi Alat Penangkapan Ikan Pancing Ulur (Handline) Tuna di Perairan Laut Sulawesi Berbasis Di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta.

Sapira., T. S. Raza’I dan A. Zulfikar. 2008. Kajian Kondisi Ikan Selar Kuning berdasarkan Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi di Pendaratan Ikan Dusimas Desa Malang Rapat. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Pangkal Pinang.

Septifitri., D. R. Moninja., S. H. Wisudo dan S. Martasuganda. 2009. Analisis Kebutuhan Sarana Perikanan dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Saintek Perikanan, 5 (2): 8-13.

Septifitri., D. R. Moninja., S. H. Wisudo dan S. Martasuganda. 2010. Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Saintek Perikanan, 6 (1): 8-21.

Suciati, L. 2014. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Selar Kuning di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuanbanten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudirman., Najamuddin dan M. Palo. 2013. Efektivitas Penggunaan Berbagai Jenis Lampu Listrikuntuk Menarik Perhatian Ikan Pelagis Kecil Pada Bagan Tancap. Jurnal Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Triarso, I. 2012. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Pantura Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan. 8 (1): 66-75.

Wijayanti, A. T. 2009. Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuata Fish Peptone dari Ikan Selar Kuning. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yusron, M. 2005. Analisis Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kepulauan Samataha dan sekitarnya. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.